Pencarian jati diri merupakan proses yang tidak pernah usai dalam kehidupan suatu bangsa. Indonesia, sebagai negara yang lahir dari rahim sejarah panjang Nusantara, senantiasa mengalami proses dialektis dalam pembentukan identitasnya. Narasi kebesaran masa lalu, terutama warisan kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit dan Sriwijaya, acapkali dijadikan landasan legitimasi dan inspirasi bagi pembentukan citra diri bangsa. Namun, ketika kita mencoba mengaitkan cita-cita negara modern dengan warisan tersebut, muncul pertanyaan mendasar: sudahkah kita merefleksikan dengan tepat nilai-nilai apa yang sesungguhnya ingin kita angkat dari masa lalu tersebut?
Dalam diskursus politik kontemporer, terselip kerinduan akan sosok pemimpin ideal yang mampu membawa bangsa ke arah kemajuan. Konsep Raja-Filsuf (Philosopher King) yang diperkenalkan Plato dalam "Republik" sering menjadi idealisme yang didambakan dengan pemimpin yang memiliki kebijaksanaan filosofis dan kapasitas intelektual tinggi. Jika ditarik ke konteks Indonesia, kita perlu mempertanyakan: apakah Majapahit yang sering diagung-agungkan sebagai simbol kejayaan benar-benar merepresentasikan nilai filosofis tersebut? Ataukah justru Sriwijaya dengan peradaban ilmu pengetahuannya yang lebih mendekati idealisme Platonis?
Kejayaan Majapahit yang Berpijak pada Kekuatan Militer
Majapahit selalu hadir sebagai rujukan utama ketika berbicara tentang kejayaan Nusantara masa lampau. Kerajaan yang mencapai puncaknya pada masa Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada ini berhasil menyatukan wilayah yang hampir setara dengan Indonesia saat ini. Sumpah Palapa Gajah Mada menjadi narasi heroik yang menggelorakan semangat persatuan. Tidak mengherankan jika citra Majapahit kemudian diadopsi sebagai inspirasi bagi pembentukan identitas nasional Indonesia modern.
Prof. Slamet Muljana dalam karyanya "Menuju Puncak Kemegahan" menggambarkan bahwa fondasi kekuasaan Majapahit terutama bertumpu pada organisasi militer yang tangguh dan ekspansi teritorial. Sejak berdirinya di bawah Raden Wijaya hingga masa keemasannya, Majapahit dibangun melalui strategi perang dan politik yang cenderung pragmatis. "Bukan pada ilmu pengetahuan atau filsafat, melainkan pada seni perang dan diplomasi yang didukung kekuatan militer, kejayaan Majapahit menemukan bentuknya," tulis Muljana.
Hal senada diungkapkan sejarawan Adrian Vickers yang menyatakan bahwa struktur kekuasaan Majapahit lebih menekankan pada hierarki militer dan kesetiaan para vassal daripada tradisi keilmuan. Dalam bukunya "Majapahit Empire: The Golden Era of Ancient Java," Vickers memaparkan bahwa Majapahit bukanlah negara kesatuan dalam pengertian modern, melainkan jaringan kekuasaan yang diikat oleh hubungan patron-klien, di mana kesetiaan kepada pusat seringkali dipelihara melalui kekuatan dan ancaman militer.
Narasi kejayaan Majapahit memang tidak dapat dilepaskan dari figur Gajah Mada, seorang mahapatih yang lebih dikenal sebagai negarawan dan panglima perang daripada cendekiawan. Kebijakan-kebijakan ekspansionisnya, meski berhasil memperluas wilayah kekuasaan, tidak serta-merta mencerminkan nilai-nilai kebijaksanaan filosofis yang diidealkan dalam konsep Raja-Filsuf Plato. Dr. Taufik Abdullah, sejarawan terkemuka Indonesia, pernah mengingatkan bahwa “kita seringkali terjebak dalam romantisme sejarah tanpa mengkaji secara kritis nilai-nilai apa yang sebenarnya ingin kita warisi."
Meski demikian, tidak berarti Majapahit tidak memiliki tradisi intelektual sama sekali. Karya sastra besar seperti Negarakertagama karya Mpu Prapanca dan Sutasoma karya Mpu Tantular lahir pada masa ini. Namun, tradisi intelektual ini lebih berfungsi sebagai penopang legitimasi kekuasaan daripada menjadi landasan pemerintahan. Mpu Tantular sendiri dalam Sutasoma memperkenalkan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang kemudian diadopsi sebagai semboyan nasional Indonesia. Namun, jika ditelaah lebih jauh, penggunaan semboyan ini pada masa itu lebih ditujukan untuk meredam potensi konflik antar pemeluk agama demi stabilitas kekuasaan, bukan sebagai manifestasi dari pemikiran filosofis yang mendalam tentang keberagaman.
Struktur sosial Majapahit menunjukkan pemisahan yang jelas antara kalangan istana (yang memegang kekuasaan politik dan militer) dengan kalangan cendekiawan (terutama para pendeta dan pujangga). Raja Majapahit, termasuk Hayam Wuruk yang dianggap terbesar, tidak menjalankan pemerintahan berdasarkan prinsip kebijaksanaan filosofis, melainkan pada pragmatisme politik dan militer. Hal ini tentu berbeda dengan konsep Raja-Filsuf yang diajukan Plato, di mana penguasa tertinggi adalah mereka yang telah mencapai pemahaman penuh tentang "Form of the Good" (bentuk kebaikan tertinggi) dan mengaplikasikannya dalam pemerintahan.
Peradaban Sriwijaya yang Bertumpu pada Ilmu Pengetahuan
Sementara itu, Kerajaan Sriwijaya yang berjaya sekitar abad ke-7 hingga ke-13 Masehi menawarkan narasi berbeda. Prof. O.W. Wolters dalam bukunya "The Fall of Srivijaya in Malay History" menggambarkan Sriwijaya sebagai pusat pembelajaran Buddhisme yang menarik peziarah dan cendekiawan dari berbagai penjuru Asia. Palembang, ibukota Sriwijaya, menjadi tempat bertemunya para sarjana dari India, Tiongkok, dan berbagai wilayah Asia Tenggara.
Catatan sejarah dari biksu Tiongkok, I-Tsing, yang belajar di Sriwijaya selama bertahun-tahun sebelum melanjutkan perjalanan ke India, memberikan gambaran tentang atmosfer intelektual yang berkembang di kerajaan ini. I-Tsing menggambarkan Sriwijaya sebagai pusat pembelajaran Buddhisme yang memiliki ribuan biksu dan sarjana, dengan perpustakaan dan fasilitas pendidikan yang memadai. "Di sini terdapat lebih dari seribu biksu yang mendalami ajaran Buddha, meneliti dan mempraktikkan ajaran sebagaimana yang dilakukan di India," tulisnya.
Kerajaan Sriwijaya menarik perhatian dunia internasional bukan semata karena kekuatan militer atau luasnya wilayah, melainkan karena reputasinya sebagai pusat ilmu pengetahuan. Universitas Nalanda di India bahkan memiliki asrama khusus untuk para pelajar dari Sriwijaya, menunjukkan adanya pertukaran intelektual yang intensif. Raja-raja Sriwijaya dikenal memiliki kebijakan yang mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, dengan memberikan patronase kepada para cendekiawan dan lembaga pendidikan.
Dr. Boechari, arkeolog Indonesia, dalam penelitiannya tentang prasasti-prasasti Sriwijaya, mengungkapkan bahwa para penguasa Sriwijaya memiliki pemahaman yang mendalam tentang filsafat Buddha dan aktif terlibat dalam diskursus intelektual. "Raja-raja Sriwijaya bukan sekadar penguasa politik, tetapi juga pelindung dharma yang memahami ajaran dengan baik," tulisnya dalam jurnal "Sriwijaya: History Beyond the Inscriptions."
Menariknya, kekuatan maritim Sriwijaya yang menjadi fondasi ekonomi kerajaan ini tidak semata-mata digunakan untuk ekspansi militer, melainkan juga untuk memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan budaya. Prof. Anthony Reid dalam "Southeast Asia in the Age of Commerce" menggambarkan Sriwijaya sebagai "negara perdagangan" yang kemakmurannya bergantung pada kontrol jalur perdagangan dan diplomasi internasional, bukan pada penaklukan militer seperti Majapahit.
Dalam konteks ini, model kepemimpinan Sriwijaya tampaknya lebih mendekati konsep Raja-Filsuf Plato. Para penguasa Sriwijaya, selain menjadi pemimpin politik, juga diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang filsafat dan ilmu pengetahuan. Terdapat bukti-bukti arkeologis dan tekstual yang menunjukkan bahwa beberapa raja Sriwijaya menulis risalah filosofis dan aktif mendukung kegiatan intelektual.
Relevansinya bagi Indonesia secara Kontemporer
Jika kita merenungkan relevansi kedua model kepemimpinan ini bagi Indonesia kontemporer, pertanyaan pentingnya bukanlah "mana yang lebih hebat" melainkan "nilai-nilai apa yang lebih dibutuhkan oleh Indonesia saat ini?" Prof. Yudi Latif, pemikir Indonesia kontemporer, dalam bukunya "Negara Paripurna" menyarankan agar bangsa Indonesia tidak terjebak dalam romantisme sejarah yang tidak kritis.
"Sejarah mestinya tidak diperlakukan sebagai fosil yang kita puja, melainkan sebagai cermin untuk berefleksi dan sumber inspirasi untuk menghadapi tantangan masa kini," tulisnya. Dalam konteks ini, model Sriwijaya yang menekankan pada ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan filosofis tampaknya lebih relevan dengan tantangan Indonesia kontemporer.
Di era disrupsi teknologi dan informasi saat ini, kepemimpinan yang berbasis pada kekuatan militer semata tidak lagi memadai. Indonesia membutuhkan pemimpin yang memiliki kebijaksanaan filosofis, pemahaman mendalam tentang ilmu pengetahuan, dan kapasitas untuk mengantisipasi perubahan global. Dr. Anhar Gonggong, sejarawan senior Indonesia, menegaskan bahwa "Tanpa pemimpin yang memiliki visi intelektual, Indonesia akan kesulitan menavigasi kompleksitas dunia kontemporer."
Namun, bukan berarti warisan Majapahit sama sekali tidak relevan. Semangat persatuan yang tercermin dalam Sumpah Palapa dan konsep Bhinneka Tunggal Ika tetap penting sebagai perekat bangsa yang majemuk. Yang perlu dikritisi adalah kecenderungan untuk mengadopsi aspek militeristik dan ekspansionistik Majapahit sebagai model pembangunan bangsa.
Prof. Bambang Purwanto, dalam diskusi panel "Merefleksikan Sejarah untuk Masa Depan Indonesia" (2018), memperingatkan bahwa "Ketika kita mengagungkan Majapahit semata-mata karena kebesaran wilayahnya, kita berisiko mengadopsi mindset kolonial yang menekankan pada penguasaan teritorial daripada pengembangan peradaban."
Raja-Filsuf dalam Konteks Indonesia
Konsep Raja-Filsuf Plato tentu tidak dapat diterapkan secara harfiah dalam sistem demokrasi modern. Namun, esensinya yang melihat bahwa pemimpin ideal adalah mereka yang memiliki kebijaksanaan filosofis dan dedikasi terhadap kebenaran justru tetap relevan. Dalam konteks Indonesia, hal ini dapat diterjemahkan sebagai kepemimpinan yang berbasis pada pengetahuan, kebijaksanaan, dan integritas moral.
Dr. Franz Magnis-Suseno, filsuf yang telah lama berkecimpung dalam pemikiran politik Indonesia, mengusulkan apa yang ia sebut sebagai "kepemimpinan etis" dengan model kepemimpinan yang menggabungkan kompetensi intelektual dengan sensitivitas moral. "Pemimpin Indonesia masa depan bukan sekadar teknokrat yang cakap secara teknis, bukan pula demagog yang pandai memainkan emosi massa, namun merupakan negarawan yang memiliki visi berdasarkan pemahaman mendalam tentang kemanusiaan," tulisnya dalam "Etika Politik."
Dalam upaya membangun sintesis baru ini, warisan Sriwijaya sebagai peradaban yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dapat menjadi inspirasi penting. Tanpa harus kembali ke sistem kerajaan, nilai-nilai yang mendasari kepemimpinan Sriwijaya seperti penghargaan terhadap ilmu pengetahuan, keterbukaan terhadap dunia luar, dan penggunaan diplomasi daripada kekerasan dapat diintegrasikan ke dalam konsep kepemimpinan Indonesia kontemporer.
Prof. Azyumardi Azra, sejarawan dan cendekiawan Muslim, menyoroti bahwa tradisi intelektual Sriwijaya memiliki karakteristik inklusif dan kosmopolitan. "Sriwijaya berhasil menjadi pusat pembelajaran karena keterbukaan dan toleransinya terhadap berbagai aliran pemikiran," tulisnya dalam "Jaringan Ulama Nusantara." Ini adalah nilai yang sangat dibutuhkan di era global yang ditandai oleh meningkatnya politik identitas dan intoleransi.
Sintesis antara warisan sejarah dan tuntutan kontemporer ini mengarah pada apa yang dapat disebut sebagai "kepemimpinan cendekia", suatu model kepemimpinan yang tidak hanya mengandalkan kekuasaan formal, tetapi juga otoritas moral dan intelektual. Pemimpin cendekia, seperti halnya Raja-Filsuf dalam konsepsi Plato, memiliki kemampuan untuk memahami permasalahan secara holistik, melihat keterkaitan antara berbagai aspek kehidupan, dan mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan jangka panjang.
Tantangan Rekonstruksi Historiografi Indonesia
Upaya untuk mengangkat kembali warisan Sriwijaya sebagai inspirasi bagi pembentukan jati diri bangsa menghadapi tantangan tersendiri. Selama ini, historiografi Indonesia cenderung memberikan porsi lebih besar pada narasi Majapahit, sementara Sriwijaya seringkali diposisikan sebagai "pendahulu" yang kurang menonjol.
Dr. Agus Aris Munandar, arkeolog dari Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa Historiografi Indonesia pasca-kemerdekaan, terutama pada masa Orde Baru, cenderung mengasosiasikan diri dengan Majapahit karena kesamaan teritorial dan struktur kekuasaan yang sentralistik. Sementara itu Sriwijaya, dengan karakteristiknya yang lebih 'cair' dan berbasis maritim, kurang mendapat tempat dalam narasi sejarah resmi.
Untuk mengubah paradigma ini, diperlukan rekonstruksi historiografi yang lebih berimbang. Prof. Bambang Purwanto dalam karyanya "Gagasan Menulis Historiografi Indonesia" mengusulkan pendekatan "sejarah peradaban" yang tidak hanya fokus pada aspek politik-kekuasaan, tetapi juga pada perkembangan intelektual, budaya, dan spiritual.
"Sejarah Indonesia bukan sekadar sejarah tentang siapa yang berkuasa dan bagaimana mereka mendapatkan kekuasaan, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat Nusantara sepanjang sejarah mengembangkan peradaban mereka," tegasnya. Dalam kerangka ini, Sriwijaya dengan tradisi intelektualnya mendapat tempat yang lebih proporsional.
Dr. Hilmar Farid, sejarawan dan Direktur Jenderal Kebudayaan, menambahkan bahwa rekonstruksi historiografi ini juga harus melibatkan perubahan dalam materi pendidikan sejarah. "Selama ini, anak-anak Indonesia lebih banyak belajar tentang kepahlawanan Gajah Mada daripada pencapaian intelektual Sriwijaya. Ini mencerminkan bias dalam cara kita memahami sejarah," ujarnya dalam sebuah diskusi publik di Galeri Nasional pada 2019.
Implikasi bagi Pendidikan dan Kepemimpinan Nasional
Menggeser paradigma dari "kejayaan berbasis kekuatan" menuju "kejayaan berbasis pengetahuan" memiliki implikasi luas bagi pendidikan dan sistem kepemimpinan nasional. Dalam konteks pendidikan, ini berarti menekankan pengembangan kapasitas berpikir kritis dan filosofis, bukan sekadar penguasaan teknis atau hafalan.
Prof. Dien Madjid, pakar sejarah dari UIN Syarif Hidayatullah, berpendapat bahwa sistem pendidikan Indonesia saat ini terlalu menekankan pada aspek pragmatis dan kurang memberikan ruang bagi pengembangan pemikiran filosofis. "Para pemimpin masa depan Indonesia tidak akan siap menghadapi kompleksitas dunia jika mereka tidak dibekali dengan kemampuan berpikir filosofis dan holistik," tegasnya.
Dalam konteks kepemimpinan nasional, paradigma baru ini menuntut perubahan dalam kriteria seleksi dan pengembangan pemimpin. Daripada menekankan pada kemampuan mengendalikan massa atau sumber daya, fokus seharusnya diberikan pada kapasitas intelektual, integritas moral, dan visi jangka panjang.
Dr. Syafii Maarif, cendekiawan senior Indonesia, menyatakan bahwa "krisis kepemimpinan yang dihadapi Indonesia saat ini pada dasarnya adalah krisis intelektualitas dan moral." Dalam pandangannya, Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak hanya cakap secara manajerial, tetapi juga memiliki kedalaman pemikiran filosofis dan komitmen terhadap kebenaran, suatu karakteristik yang lebih dekat dengan tradisi Sriwijaya daripada Majapahit.
Merajut Kembali Jati Diri Bangsa
Pembentukan jati diri bangsa adalah proses yang dinamis dan berkelanjutan. Indonesia, dengan sejarah panjangnya, memiliki kekayaan sumber inspirasi yang dapat ditimba untuk menjawab tantangan kontemporer. Majapahit dengan semangat persatuannya dan Sriwijaya dengan tradisi intelektualnya sama-sama menawarkan pelajaran berharga.
Namun, jika kita ingin mengembangkan model kepemimpinan yang mendekati ideal Raja-Filsuf Plato seperti pemimpin yang memiliki kebijaksanaan filosofis dan dedikasi terhadap kebenaran, maka tradisi Sriwijaya tampaknya lebih relevan sebagai sumber inspirasi. Kejayaan berbasis pengetahuan, bukan semata-mata kekuatan militer, adalah model yang lebih sesuai dengan tantangan dunia kontemporer.
Prof. Azyumardi Azra menyimpulkan dengan baik bahwa Indonesia abad ke-21 membutuhkan pemimpin yang memiliki kualitas cendekiawan dan negarawan sekaligus, sosok yang mampu memahami kompleksitas global sekaligus tetap mengakar pada nilai-nilai luhur bangsa. Dalam pengertian ini, upaya untuk merajut kembali jati diri bangsa tidak berarti kembali ke masa lalu, melainkan mengambil inspirasi dari masa lalu untuk menatap masa depan dengan lebih bijaksana.
Mungkin sudah saatnya kita menggeser narasi kebanggaan nasional dari "kejayaan Majapahit" yang berbasis ekspansi teritorial menuju "pencerahan Sriwijaya" yang berbasis pada pencapaian peradaban dan intelektual. Bukan untuk menafikan warisan Majapahit, melainkan untuk melengkapinya dengan dimensi lain yang tak kalah penting dalam pembentukan jati diri bangsa yang utuh.
Sebagai penutup, perkataan filsuf kontemporer Michael Sandel mungkin relevan untuk direnungkan yakni Kebesaran suatu bangsa tidak diukur dari luasnya wilayah atau kekuatan militernya, melainkan dari kedalaman pemikiran, keluhuran moral, dan kontribusi peradabannya bagi dunia. Dalam terang ini, mewarisi semangat Sriwijaya sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan mungkin merupakan pilihan yang lebih bijak bagi Indonesia dalam perjalanannya menuju masa depan.
Catatan :
Boleh dicopas, tapi sertakan namaku ya!