Dua kata ini kembali saya dengar menjelang penerimaan pegawai dan tes
masuk angkatan bersenjata Republik Indonesia, orang dalam. Selalu ada harapan dan imbalan
pada awal, proses, hingga akhirnya. Sekuat dan sedetil apa pun pemerintah
melakukan langkah pencegahan aksi nepotisme ini, selalu saja ada oknum yang
lebih upgrade dalam melakukan kecurangan. Seolah-olah sistem itu buta pada
tindakan yang tersembunyi dan diredam oleh tembok-tembok rumah warga. Saya
tidak tahu bagaimana masyarakat hidup dalam rasa percaya pada suatu individu
yang pada akhirnya akan meminta balasan yang jauh lebih besar dari yang pernah
dia berikan. Pribadi lepas pribadi adalah kesia-siaan selama 12 – 17 tahun
belajar. Keahlian hanyalah embel-embel dari setiap bisikan kecil “ini orang saya”. Apa yang ingin dibangun
dari negara ini? Kemajuan atau kekerabatan yang membutakan semua rasionalitas
pekerjaan. Seorang sarjana pertanian bekerja di dinas komunikasi dan
informatika, seorang sarjana ilmu pendidikan bekerja sebagai staf humas,
seorang sarjana teknik mesin diangkat sebagai bendahara. Saya tidak lagi hidup
dalam dunia yang ideal seperti yang dijelaskan di dalam ruang kuliah.
Orang-orang mengasihani dan memberi komentar sinis pada keputusan saya untuk
berjalan sendiri, entah itu kenekatan atau kebodohan yang saya percayai dalam
doa-doa malam.
Jika
berbicara tentang doa maka akan ada saran yang menyesatkan bahwa mungkin Tuhan
menolong saya melalui orang dalam. Benarkan demikian? Jadi Tuhan tidak menolong
orang-orang yang mengikuti aturan tetapi menggunakan orang dalam sebagai bentuk
uluran tangan-NYA?. Polisi saja tidak menilang pengendara yang tertib lalu
lintas, lalu bagaimana kita menjelaskan bahwa Tuhan bekerja melawan orang-orang
yang mengikuti aturan? Saya ingin berdiri pada tempat di mana Tuhan dimuliakan
melalui kesulitan yang saya alami dalam meraih cita-cita. Persoalan yang saya
alami cukup membuat saya goyah dan gementar bahkan menangis sendiri di malam
hari. Tuhan dimuliakan dalam persoalan tersebut. Dulu saya mendengar dan belum
percaya, sekarang saya mengalaminya dan percaya. Bahwa tak ada rencana Tuhan
yang lalai terhadap hidup saya, termasuk cita-cita saya dan keinginan untuk
mengikuti aturan main. Jika kali ini saya berhasil maka itu bukan karena
kekuasaan seseorang atau saya mengandalkan orang lain untuk menopang masa depan
tetapi karena Tuhan yang memberikannya kepada saya.
Kegagalan
pertama pada tes CPNS di tahun 2018 dimaknai oleh saya sebagai cara Tuhan agar
saya dapat merawat mama saya sebelum beliau meninggal dunia. Kegagalan kedua
saya dalam tes CPNS 2019 adalah cara Tuhan melindungi saya agar tak terjebak di
ibukota selama pandemic covid-19. Begitulah cara saya memahami maksud Tuhan
dalam kegagalan saya walaupun prosesnya cukup lambat. Saya tidak ingin
menyalahkan siapa pun atau apapun dalam kegagalan saya, karena dengan begitu
saya tahu bahwa Tuhan itu hebat karena mampu membuat saya belajar dari sebuah
kegagalan dan mengubahnya menjadi rasa syukur yang tak terbatas. Itulah alasan
saya mengapa saya tidak memerlukan orang dalam. Sok suci, mungkin kata
itu yang akan saya dapatkan dari beberapa pembaca tetapi saya tidak masalah
karena mereka yang sok berdosa akan terlihat lebih munafik dalam hal merendah hati.
Seperti
renungan keren yang terlintas di pikiran saya setelah menyelesaikan Saat Teduh :
“ pakai orang dalam itu pilihan, terserah lu. Asal jangan marah
kalo suatu saat dong (:mereka) bilang
lu tanpa dong (berakhir) jadi tai. Lu mau berhasil di mana pun tetap orang (lain) sonde (:tidak) hitung itu karena Tuhan tapi karena orang dalam. Terus kapan Tuhan bisa dimuliakan dari lu pung hidup yang singkat itu?”
Comments
Post a Comment