Skip to main content

MEDIA MASSA : Lebih dari Sekadar Kebebasan



Ini bermula dari komentar saya terhadap postingan story teman mempertanyakan tentang kebebasan dan media massa. Media massa sesuatu yang saya pelajari selama 4.5 tahun di bangku kuliah. begitu lamanya belajar saya mulai paham bahwa rakyat tak bisa selamanya percaya pada media massa terutama yang berkaitan dengan sosial dan politik. Bisa saja kita mengatakan bahwa kita mempunyai berbagai pilihan media massa sehingga tidak perlu takut jika suatu saat kita digiring oleh media massa terutama dalam pembentukan opini, tetapi jika kita benar-benar jeli dalam melihat setiap isi berita media massa maka kita akan menemukan satu kesamaan diantara pilihan-pilihan tersebut, yakni anda harus mempunyai cara pandang yang sama dengan media yang anda tonton. Jika media massa bilang “sesuatu” itu baik maka anda pun harus meyakini bahwa “sesuatu” itu baik Bukannya saya ingin mengatakan bahwa kita harus berhenti percaya pada media massa, mengingat di masa ini informasi menjadi salah satu kebutuhan primer kita selain pangan, sandang dan papan.  Tetapi, kecenderungan untuk menyerahkan segala usaha berpikir kita terhadap sebuah isu melalui pandangan media massa justru merupakan suatu kecerobohan yang berbahaya.

MASA PEMBUNGKAMAN
Saya akui media massa di Indonesia banyak mengalami pasang surut melalui berbagai pergantian orde kepemimpinan di Indonesia. Misalnya di masa Orde Lama, media massa diwajibkan untuk menjadi corong pemerintah dalam melanggengkan kampanye ideologi politik pemerintah yang berkuasa. Ya ,berdasarkan sejarah kita tahu bahwa media-media massa yang dianggap kontra revolusi banyak mendapatkan penyensoran dan pembrendelan di bawah pemerintahan Soekarno. Sebagai contoh kecil yang saya tangkap misalnya, media yang mempromosikan gaya hidup yang kebarat-baratan (Amerika dan Inggris) maka akan disensor sedangkan media yang mengkritik pemerintah dan menyerang kubu politik pendukung pemerintah akan dibrendel, tak heran jika pada masa itu media secara terang benderang terbagi dalam dua kubu besar. Selanjutnya, di masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru, media yang ditindas oleh rezim Orde Lama, seolah-olah mendapatkan kebebasan karena dengan senangnya mereka bisa “menggempur” media pendukung rezim orde lama. Sayangnya kebebasan ini hanya berjalan selama kurang lebih 4 tahun, setelah Orde Baru memantapkan kekuasaannya, media massa kembali mengalami masa-masa pembungkaman melalui penyensoran dan pembrendelan. Media Massa seolah-olah menjadi kuli bagi pembangunan dan pertahanan kekuasaan orde baru. Para pekerja media yang masih setia pada idealism mereka, satu-satu mulai menghilang, katanya mereka diculik dan dibunuh oleh rezim yang berkuasa tetapi sampai saat ini tak ada yang pasti selain kesimpulan mereka senyap karena bersuara lantang. Alih-alih menuntut kebebasan, media massa di zaman orde baru akhir membiarkan “perahu” mereka dibawa oleh arus kekuasaan sembari melatih diri untuk lebih kreatif dalam memasukkan kritik terhadap pemerintah melalui karya humor. Sehingga tahun 70an media massa jauh lebih kreatif dari pada media massa saat ini terutama dalam mengemas sebuah konten.

MASA PEMBEBASAN
Media massa mungkin harus berterima kasih terhadap peristiwa krisis moneter karena menjadi salah satu alasan utama mengapa rezim orde baru runtuh. Setelah orde baru runtuh, orde reformasi mulai bangkit dan memberikan kebebasan terhadap media massa di mana pada masa itu  Presiden RI ke-3 B.J.Habibie dan Presiden RI Ke-4 Abdurahaman Wahid mulai mencabut pembredelan dan penyensoran terhadap media massa. Media massa mulai bebas memberitakan apa pun termasuk mengkritik pemerintahan yang sedang berkuasa. Tak ada lagi ketakutan akan ancaman tetapi semangat untuk membangun negeri melalui transparansi informasi kepada rakyat Indonesia. Sisa-sisa kekuasaan Orde Baru “digiling” habis-habisan oleh media massa, dan politik bukanlah hal tabu untuk diberitakan oleh media. Tetapi kebebasan ini pula yang menghabisi kreatifitas konten media massa saat ini . Tak ada berita yang bervariasi selain berita tentang maneuver-manuver politik di pemerintahan. Media massa seolah-olah memiliki partai politik tersendiri di dalam pemerintah, tak jarang lebih terlihat sebagai buzzer tokoh politik, di mana media tak lagi menyertakan keseimbangan dalam memberikan sebuah informasi. Saya juga paham, bahwa hal itu bukannya tidak disadari oleh para pekerja media, tetapi sayangnya beberapa dari mereka lebih memilih menutup mata dan telinga mereka bahkan pikiran kritis mereka agar tak “disenyapkan” mata pencahariannya. 

MEDIA MASSA MEMBANGUN KEKUASAAN
Tak banyak lagi suara-suara mahasiswa yang berdemo dan mengkritik pemerintahan, kemungkinan suara mereka telah disenyapkan oleh ancaman Drop Out (DO) dari Universitas-universitas “taklukan”. Seolah-olah negeri ini hanya dibangun oleh pemuda-pemuda yang setiap hari berada di ruang kelas dan didikte oleh pengajar. Tetapi sudahlah itu urusan mahasiswa dan kampusnya. Kembali lagi ke media massa, setelah mahasiswa tak bersuara, media massa mulai mengambil alih peran tersebut. Awalnya itu adalah tindakan yang mulia karena mau menyuarakn suara rakyat untuk pemerintah. Seperti kisah para pangeran yang mendapatkan penghargaan dari raja dan rakyat kemudian berambisi memiliki takhta yang tak ingin dibagi, begitulah pandangan saya tentang media massa. Mereka awalnya murni, tetapi kebebasan dan kepercayaan yang diperoleh kemudian membuat mereka ingin mendapatkan sesuatu yang lebih, yakni kekuasaan. Kemampuan media massa dalam mengatur informasi dan opini masyarakat merupakan hal yang sangat luar biasa dan kemampuan inilah yang membuat para pemilik media berusaha “mencicipi” kekuasaan melalui pembentukan partai politiknya sendiri. Coba saja kita hitung ada berapa banyak pemilik media massa yang terjun ke dalam dunia politik? Hampir semua, terutama mereka yang memiliki media massa televisi. Setiap hari ada saja iklan tentang partai politik mereka di layar televisi. Kita juga mungkin bisa mengelak bahwa itu adalah hak semua warga negara Indonesia untuk terjun ke dalam dunia politik, tetapi saya tetap tidak bisa sependapat apalagi jika mereka adalah orang yang memiliki perusahaan media massa terbesar di Indonesia. Jika kalian merasa bahwa kepemilikan informasi tak berpengaruh pada kekuasaan dan politik, kalian bisa tanyakan pada sejarah. Misalnya, Propaganda pendudukan militer Jepang di Indonesia (agar meyakinkan rakyat Indonesia untuk mendukung kekaisaran Jepang), Proklamasi Kemerdekaan(Beberapa wartawan kantor berita Domei mempertaruhkan nyawa mereka demi melindungi rekaman proklamasi kemerdekaan Indonesia dari militer Jepang), G 30 S PKI (RRI dan Telkom menjadi target utama pembebasan oleh TNI setelah meletusnya G30S). Dalam keadaan apapun informasi dan komunikasi adalah hal paling vital karena memiliki pengaruh untuk mengajak dan mempengaruhi masyarakat banyak. Sisi inilah yang dimanfaatkan oleh para pemilik media dalam meraih kekuasaan. Bahkan tak main-main, mereka nekat melakukan konglomerasi media demi meraih kekuasaan. Jika kalian berpikir bahwa kekuasaan yang saya maksud hanya sebatas pada politik, maka anda salah. Kekuasaan yang saya maksudkan jauh lebih luas daripada politik semata, melainkan menguasai pikiran rakyat tentang apa yang baik dan apa yang tidak. Namun, saya hanya bisa menarik contoh dunia politik dan konglomerasi media karena hanya itulah yang terlihat nyata tetapi tidak disadari oleh sejumlah besar rakyat Indonesia. Pertanyaan terakhir dari saya, apakah anda pernah mendengarkan bunyi dari PERATURAN PEMERINTAH NO. 50 TAHUN 2005 PASAL 33? Jika belum, maka anda harus membacanya karena tak akan media massa yang mau memberitahukan kepada anda tentang kelemahan mereka dan tak ada lagi suara pemerintah karena dianggap tak berimbang oleh rakyatnya sendiri yang terlena informasi dari media massa.

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian