Skip to main content

KOREA UTARA : FACT OR FAKE

Korea Utara (North Korea), ketika anda mendengar negara tersebut yang ada di pikiran pastilah "komunis". Ya, Korea Utara merupakan salah satu negara di Asia yang berpaham komunis selain Republik Rakyat Tiongkok, Vietnam, dan Laos. Berbeda dengan "saudara kembarnya", Korea Utara terlihat begitu lamban dalam menata kota yang lebih modern (menurut tayangan NG, yang saya tak bisa percaya 100%). Suasana Kota Pyongyang (ibukota Korea Utara) nampak lebih lenggang, memang ada beberapa gedung tinggi yang menjadi primadona kota Pyongyang tetapi belum cukup untuk menandingi kota Seoul (ibukota Korea Selatan). 
Kota Pyongyang



Kota Seoul
Selain tata kota yang dianggap belum begitu modern, Korea Utara juga sering dituding media barat sebagai negara yang otoriter (ya... karena komunis), menurut media barat, sistem ini pada akhirnya membuat kondisi masyarakat menjadi lebih tertutup, ditambah lagi kebebasan informasi masih menjadi hal yang dilarang di Korea Utara. Pernah ada seorang jurnalis media barat (cari saja di youtube. saya tidak bisa menempelkan linknya di sini) yang mengatakan bahwa setelah dia tiba di Korea Utara melalui perbatasan tiongkok, dia sempat diperiksa dan ditanyai apakah dia membawa holy bible atau tidak. Pengalaman ini dia simpulkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia, di mana seseorang dilarang untuk membawa kitab suci berdasarkan keyakinannya masing-masing (sampai di sini saya percaya bahwa Korea Utara adalah negara otoriter).
Beralih dari media barat, ada pula media indonesia yang mengangkat fakta tentang Korea Utara, yakni  detik.com yang mengungkapkan 10 fakta dan 2 diantaranya saya ragukan (Tidak boleh mengambil foto selfie dan tidak merayakan natal). Rasa ragu ini muncul karena adanya beberapa vlogger (salah satunya Jaka Parker) yang leluasa untuk mengambil gambar dan video keseharian masyarakat Korea Utara tak jarang mereka menguploadnya ke youtube sebagai hasil dokumentasi mereka selama tinggal di negara peninggalan raja Jumong tersebut. Selain itu Korea Utara mengizinkan perayaan natal di wilayahnya serta memasang atribut natal di toko-toko kota Pyongyang bahkan ada konser natal di Pyongyang (mungkin warga asing banyak di situ).
Jaka Parker melakukan selfie


Anak-anak di Kota Pyongyang

Hal ini saya angkat karena adanya ketimpangan informasi dan ketertarikan saya dengan negara Korea Utara. Bukan karena komunis (karena saya tidak setuju dengan sistem komunis), tetapi karena ketika saya mendengar Korea Utara, saya seperti melihat Indonesia mula-mula. Kebandelan Korea Utara yang tak mau tunduk pada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan perseteruannya dengan Amerika Serikat seolah-olah membuat saya kembali pada sejarah keluarnya Indonesia dari PBB. Korea Utara juga menjadi negara langganan embargo negara-negara barat dan ditambah lagi menjadi yang dijauhi secara diplomatik oleh beberapa negara.
Pengucilan ini juga bisa saja berdampak pada media massa, lebih tepatnya melebih-lebihkan suatu informasi sehingga menimbulkan opini negatif publik tentang Korea Utara. Anda mungkin mengatakan media massa tidak mungkin melakukannya. Ya, benar tidak mungkin media massa menggiring opini negatif (secara tersurat), tetapi media massa masih dapat melakukan framing sebagai daya memanipulasi sebuah berita (tersirat). Tidak hanya Korea Utara yang menjadi korban framing media asing, Indonesia pun pernah mengalaminya (dalam peristiwa Timor-Timur, dan yang terbaru demonstrasi Papua). Peristiwa Timor-Timur inilah yang membuat Indonesia mencicipi "sepetnya" embargo dari Amerika Serikat.
Seharusnya dari peristiwa ini, media Indonesia belajar untuk lebih menghargai sebuah fakta yang aktual dari negara lain, terutama negara se-asia. Ketika melakukan sebuah pemberitaan tentang negara lain, media Indonesia seharusnya melepaskan sentimen ideologi dan tidak mengaminkan sebuah fakta yang digilir dari media massa barat.
Memang benar media massa Indonesia harus berideologikan Pancasila, tetapi bukan berarti mengikuti arus media massa liberal. Bukankah Pancasila itu memuat kebebasan yang bertanggungjawab, sehingga media massa Indonesia diberikan kebebasan yang seluas-luasnya tetapi wajib bertanggungjawab atas fakta yang disampaikan termasuk dalam memberitakan negara lain tak peduli apa pun ideologinya. 

Comments

  1. Korut memang bukan komunis, malahan korut punya ideologi sendiri bernama Juche.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian