Pendaftaran Mahasiswa Baru perguruan tinggi negeri terutama
jalur SNMPTN dan SBMPTN telah resmi ditutup. Berdasarkan laman
edukasi.kompas.com jumlah pendaftar khusus SBMPTN 2019 sebanyak 714.652
peserta. Pelamar bidikmisi sebesar 173.313 peserta. Jika dilihat dari angka di atas terlihat
jelas bahwa antusias untuk berkuliah di perguruan tinggi negeri masih cukup
tinggi, ditambah lagi angka pelamar bidik misi yang juga masih tetap tinggi,
membuktikan bahwa banyak calon mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah juga
antusias untuk berkuliah. Tunggu dulu kalangan menengah ke bawah?
Ya itu menurut “teori”, tetapi prakteknya tidak banyak
masyarakat kalangan menengah ke bawah yang mendapatkan bidikmisi tersebut. Atau
memang ada tetapi tidak dipergunakan sebagaimana mestinya (masalah ini memang bukan urusan saya, tetapi karena terlalu menggelikan
makanya saya harus memberikan opini saya sebagai pengguna layanan pendidikan).
Saya akan memberikan sedikit gambaran tentang bidik misi
yang dipandang sebagai alternatif pemerataan pendidikan bagi masyarakat.
Menurut website bidikmisi, Bidikmisi adalah bantuan biaya
pendidikan dari pemerintah bagi lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA)
atau sederajat yang memiliki potensi akademik baik tetapi memiliki
keterbatasan ekonomi. Berbeda dari beasiswa yang berfokus pada
memberikan penghargaan atau dukungan dana terhadap mereka yang
berprestasi (lihat penjelasan Pasal 76 UU No. 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi).
Walaupun demikian, syarat prestasi pada bidikmisi ditujukan untuk
menjamin bahwa penerima bidikmisi terseleksi dari yang benar benar mempunyai
potensi dan kemauan untuk menyelesaikan pendidikan tinggi.
fyi : ada 3 jenis bantuan untuk menyelesaikan pendidikan di Perguruan tinggi, yakni beasiswa, bantuan pendidikan, dan pinjaman tanpa bunga
Beberapa kalimat yang sengaja ditebalkan/bold
merupakan inti dari pengertian dan tujuan dari bidikmisi tersebut. Bidikmisi
bukanlah beasiswa yang terbuka bagi semua anak berprestasi, bidikmisi memiliki
2 kriteria tertentu, yaitu harus berprestasi dan memiliki keterbatasan ekonomi.
Untuk kriteria berprestasi maka dapat dibuktikan
melalui prestasi atau nilai akademik sewaktu di Sekolah Menengah Atas atau
selama 3 semester awal di perguruan tinggi (*Kalau diusulkan setelah menjadi mahasiswa
aktif). Untuk kriteria ini, kecil kemungkinannya terdapat kesalahan. Berlanjut
ke kriteria berikutnya, keterbatasan ekonomi, Kriteria ini tak jarang membuat
pelamar bidikmisi “sakit kepala” karena banyak syaratnya untuk membuktinya
keterbatasan ekonomi tersebut. Mulai dari merupakan pemegang KIP atau KPS, atau
BSM, Pendapatan Ayah-Ibu jika digabungkan < Rp.4.000.000,00 dan harus dibagi
dengan semua anggota keluarga tanggungan (rata-rata < Rp. 750.000,00).
Sampai di sini cukup adil, bukan? Untuk KIP, KPS dan BSM bagaimana jika dia
tidak memilikinya? Tetapi faktanya dia memang memiliki keterbatasan ekonomi,
Surat keterang tidak Mampu (SKTM) satu-satunya cara untuk menerangkan bahwa
pemegangnya memang memiliki keterbatasan ekonomi. Surat ini biasanya
dikeluarkan oleh kelurahan, sayangnya alternatif ini sering disalah gunakan
oleh manusia-manusia rakus untuk menipu, dan suka mengambil hak orang lain.
Mengapa saya sebut manusia-manusia rakus karena tak ada istilah yang pas untuk
mereka yang merebut hak-hak orang lain terutama mereka yang tidak mampu (emosi jiwa saya dengan mereka). Tak
jarang petugas kelurahan enggan untuk turun dan memverifikasi data penggusul
SKTM. Entah pegawai kelurahan yang
terlalu percaya dengan orang atau mereka terlalu sibuk mengerjakan pekerjaan
mereka ketimbang menyelaraskan data dibuku dan di lapangan, saya juga tidak
tahu. Inilah yang tak jarang membuat bantuan bidikmisi tidak tepat sasaran.
Di bayangan saya, setelah menerima dana
bidikmisi, para peserta akan mengutamakan membeli barang-barang yang menunjang
kegiatan perkuliahan mereka, seperti buku, laptop, printer, atau smartphone,
tak jarang mencicil motor jika jarak rumah dan kampus sangat jauh. Andaikan
saja seperti itu. Tetapi beberapa oknum justru menghambur-hamburkan uang mereka
untuk kegiatan hiburan bahkan tak ada hubungan dengan pendidikan mereka.
Tidakah anda curiga dengan hal tersebut? Jika penerima bidik misi tersebut
berasal dari kalangan menengah ke bawah maka dia cenderung menghabiskan untuk
membeli hal-hal yang penting dalam menunjang pendidikannya atau pun jika
kondisi ekonominya memprihatinkan maka dia akan menyisihkan sebagian uangnya
untuk kebutuhan dapur.
Kembali lagi ke pengurusan SKTM yang menyesatkan,
mungkin juga bisa menjangkiti KIP, KPS dan BSM jika petugas yang berwenang
tidak teliti terhadap setiap data yang masuk. Saya selalu kesal dengan
kepengurusan keterangan tidak mampu karena pada dasarkan beberapa di antara para
pengaju SKTM* (*biasanya ini yang paling banyak data fiktifnya), tetapi karena
mereka bekerja pada perusahaan swasta atau wirausaha yang tak memiliki data penghasilan
yang sama dengan pegawai negeri sipil
yang datanya tersusun rapi dan sulit untuk direkayasa.
Misalnya gaji PNS golongan III/C masa kerja 22
tahun, Rp. 3.753.800,- data tersebut sulit direkayasa di dalam slip gaji karena
jumlah gaji yang dibayarkan itu berlaku umum sehingga tidak mungkin berbeda
dengan PNS lain yang golongan dan masa kerja sama. Kalau pun direkayasa tetap
akan menimbulkan kecurigaan.
Pegawai Swasta, ini juga kecil kemungkinannya
direkayasa terutama untuk mereka yang bekerja di perusahaan besar. Tim
penyeleksi bidikmisi juga tidak mudah terkecoh ketika memverifikasinya. Kecuali
untuk perusahaan kecil, bisa saja ada berbagai alasan untuk mengelabui tim
penyeleksi, seperti memberikan slip gaji palsu tanpa sepengetahuan pimpinan. Dan
untuk melacak perusahaan-perusahaan kecil juga akan sulit karena informasi yang
sedikit.
Wirausaha, ini yang bisa mengecoh kita, wirausaha
tidak selamanya berpenghasilan rendah, juga tidak selamanya berpenghasilan
tinggi. Bagaimana cara memverifikasinya juga rumit, harus ditanya apa yang
menjadi usahanya, berapa pemasukkan per bulan, pengeluarannya per bulan
semuanya tidak pasti secara data. Bayangkan jika dari 100.000 pelamar
bidikmisi, ada 75.000 pelamar dengan pekerjaan orang tua sebagai wirausaha,
waktu yang diperlukan untuk melakukan verifikasi secara langsung dari tim
penyeleksi pastilah sangat lama dan juga melelahkan. Jadi jalan pintasnya ya
melalui SKTM, KIP, KPS dan BSM
Lagi-lagi ketika sampai ke kelurahan,
kegiatan verifikasi data pengaju SKTM, KIP, KPS dan BSM masih saja menemui
kemacetan. Jadi jangan kaget jika ada orang yang memiliki sebuah rumah mewah, 1
mobil dan 2 motor, dinyatakan sebagai warga dengan keterbatasan ekonomi. Begitu
pula para pelamar BidikMisi, yang kalau mau jujur sebagian dari mereka tak
layak mendapatkan bantuan pendidikan tersebut, karena mereka sama sekali tidak
membutuhkannya, selain untuk menambah uang saku dan gaya hidup hedonis mereka.
Untuk menghentikan praktek keji ini,
dibutuhkan kerjasama semua pihak, mulai dari Kelurahan, Kemenristekdikti,
masyarakat dan para pelamar bidikmisi itu sendiri. Kejujuran adalah kunci utama
di dalam kerja sama ini.
Hentikan praktek penipuan kelayakan
penerima Bidikmisi, SKTM dan lain-lain. Kembalikan hak-hak keluarga dengan
keterbatasan ekonomi agar bisa merasakan pendidikan di perguruan tinggi.
Untuk para pelamar dan calon pelamar
bidikmisi, masukan data kalian dengan sejujur-jujurnya. Untuk para penerima
aktif bidikmisi, jika kalian layak menerima bantuan tersebut, mohon jangan
disia-siakan dan tetaplah semangat berjuang. Jika kalian tidak layak,
hentikanlah praktek tersebut, jangan menistakan kekayaan kalian yang telah dianugerahkan
Tuhan (kalau Tuhan tersinggung, bisa-bisa miskin 7 turunan)
Comments
Post a Comment