Skip to main content

KETIKA SEJARAH (Indonesia) BERUBAH MENJADI SAEGUK (Korea Selatan)

Kali ini bukan tentang puisi yang saya ciptakan tetapi mengenai realita yang saya lihat setiap hari
 
KETIKA SEJARAH (Indonesia) BERUBAH MENJADI SAEGUK (Korea Selatan) 

Siang ini saya terusik dengan sebuah drama Saeguk yang sebenarnya sudah saya tonton sejak akhir tahun 2009. Drama tersebut berjudul The Great Queen Seondeok/TGQS (drama asal negara Korea Selatan). Drama ini menyajikan berbagai intrik yang dilakukan oleh para wanita. Mereka tidak bermain intrik untuk memperebutkan hati seorang raja, tetapi untuk meraih tahta kerajaan. Jujur saya iri dengan cara Perfilman dan drama Tv Korea Selatan yang mampu menyajikan drama sejarah negara mereka dengan baik. Entah berapa banyak sejarah Korea Selatan yang sudah saya ingat hanya dengan menonton drama tv dan filmnya. Gojoseon, Buyeo, Gogouryeo, Baekje, Silla, Balhae, Goryeo, Joseon (kerajaan).
Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, saya sudah jatuh cinta pada pelajaran sejarah khususnya sejarah tentang kerajaan. Saya membayangkan apa yang saya baca di buku akan divisualisasikan melalui layar televisi yang saya tonton. Saya sadar sampai sekarang yang mampu membuatnya hanya Korea Selatan. Banyak cerita sejarah kerajaan Indonesia yang saya baca dan menurut saya sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia sangat menarik. Penuh drama romantis, mistis, kepahlawanan, dan penuh intrik. Misalnya jika di dalam drama TGQS, tokoh puteri deokman begitu pintar dalam permainan politik melawan Nyonya Mishil. Maka kalau di dalam sejarah Kerajaan Majapahit ada tokoh Ratu Tribhuwana Tunggadewi yang mampu menghimpun dan mempertahankan para pendukungnya, yakni Gajah Mada, Adityawarman dan Laksamana Nala agar dapat mengukuhkan dan memperkuat tahta Putranya Hayam Wuruk. Seperti sejarah yang pernah kalian baca (saya harap kalian pernah membaca sejarah kerajaan Majapahit kalau tidak berarti kalian termasuk orang-orang menyedihkan) susah payah perjuangan Ratu Tribhuwana Tunggadewi mempertahankan Gajah Mada akhirnya sia-sia karena Raja Hayam Wuruk lebih memilih memeluk sakit hatinya karena kehilangan Dyah Pitaloka dan melepaskan genggaman tangan Gajah Mada serta menuduh Gajah Mada menjadi penyebab Dyah Pitaloka melakukan tindakan bunuh diri (Tragedi Perang Bubat yang melibatkan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda). Ketika melepaskan tangan Gajah Mada, secara tidak langsung Raja Hayam Wuruk juga melepaskan genggaman Adityawarman dan Laksamana Nala (Pendukung terkuat yang pernah ia miliki). Ya... Cita-cita Gajah Mada dan kawan-kawan berhasil membuat Kerajaan Majapahit menjadi Kerajaan yang sangat besar melebihi kerajaan-kerajaan terdahulu dan sesudahnya, tetapi ketika cita-cita berubah menjadi ambisi maka tanpa sadar Gajah Mada sendiri sudah lupa bahwa ia sedang menggenggam tangan Raja Hayam Wuruk bahkan ia lupa bahwa di saat yang bersamaan Ratu Tribhuwana telah kehilangan orang kepercayaannya Gajah Mada, Adityawarman dan Laksamana Nala (Mungkin ketiganya saya sebut dengan istilah Trident of Majapahit). Pokoknya komplekslah sejarah ini, Gajah Mada bisa menjadi tokoh protagonis dan antagonis dalam berberapa sudut pandang
Sejarah ini bisa diangkat ke dalam drama-drama di televisi Indonesia, tentunya dengan riset-riset sejarah yang lebih mendukung agar tidak terkesan setengah hati dalam menyajikan sejarah.. uhmm mungkin tidak sangat mendetail tetapi lumayanlah untuk menumbuhkan rasa ketertarikan remaja Indonesia untuk lebih banyak menggali sejarah Kerajaa-kerajaan di Indonesia, seperti kerajaan Kutai, Tarumanegara, Kerajaan, Sriwijaya, Kerajaan Singasari, Kerajaan Kaling, Kerajaan Kediri, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Melayu, Kerajaan Bali, Kerajaan Wangsa Isyana, Kerajaan Mataram Kuno, Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram Islam, Kerajaan Banten dan masih banyak lagi. Raja-raja di Indonesia juga mempunyai sepak terjang yang hebat hanya saja kehebatan dan kemashyuran mereka lebih banyak dibatasi oleh buku-buku sejarah di dalam sekolah yang sebenarnya juga tidak kemas secara menarik. Oh ya pernah ada drama sejarah yang diangkat ke layar televisi hanya saja tidak semuanya dibuat dengan sepenuh hati (mungkin karena pemerintah mengabaikan ide-ide para sineas atau sebaliknya). Mungkin pikiran saya licik tetapi apa salahnya jika kita bangsa Indonesia juga melakukan hal yang sama dengan Gajah mada, melakukan penaklukan. Bukan lagi pada wilayah kedaulatan melainkan budaya. Korea Selatan saja melakukan hal yang sama dengan mempromosi budaya (K-pop dan drama-drama Saeguk).
Pada Akhirnya, drama TGQS mejadi alasan saya untuk menulis kecemburuan saya karena sejarah bangsa saya belum sepenuhnya mendapat tempat di dalam ingatan remaja-remaja Indonesia. Beberapa dari mereka mengidolakan Bidam, Jenderal Kim Yushin, Jumong, Raja Sukjong dan lainnya. Namun, ada berapa banyak remaja Indonesia yang mengidolakan Gajah Mada, Ratu Sima, Ratu Tribhuwana, atau Raden Wijaya?

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian