Sidang kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo di Pengadilan Militer III-15 Kupang telah membuka tabir kelam yang seharusnya tidak pernah terjadi dalam institusi pertahanan negara. Kesaksian Prada Richard Bulan tentang penyiksaan yang dialaminya bersama almarhum Lucky bukan sekadar narasi kekerasan biasa, melainkan cerminan dari rapuhnya sistem pembinaan dan penegakan hukum disiplin militer yang seharusnya menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer, hakikat penegakan disiplin adalah pembinaan dan penertiban secara internal yang berkaitan dengan disiplin militer. Namun, apa yang dialami oleh Prada Richard dan almarhum Lucky telah melampaui batas pembinaan yang manusiawi. Ketika seorang perwira seperti Letda Inf Made Juni Arta Dana memerintahkan penyiksaan dengan mengoleskan cabai yang telah dihaluskan ke area sensitif seorang bawahan, kita tidak lagi berbicara tentang pembinaan disiplin, melainkan tentang penyiksaan yang merendahkan martabat manusia.
Dalam perspektif hukum disiplin militer, perbuatan yang dilakukan oleh Letda Made Juni jelas melanggar ketentuan yang menegaskan bahwa atasan wajib memimpin bawahan dengan adil dan bijaksana, memberikan contoh dan teladan baik dalam sikap, ucapan, maupun perbuatan, serta menjalankan wewenang yang dipercayakan dengan saksama, adil, objektif, dan tidak menyalahgunakan wewenang. Pemaksaan pengakuan melalui kekerasan fisik dan penyiksaan yang merendahkan martabat bukan hanya bertentangan dengan kewajiban seorang atasan, tetapi juga melanggar prinsip dasar hak asasi manusia.
Lebih jauh lagi, tindakan memaksa bawahan untuk mengaku sebagai gay tanpa bukti yang sah menunjukkan adanya pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah yang menjadi salah satu prinsip fundamental dalam penegakan hukum disiplin militer (Pasal 2 huruf d UU No. 25 Tahun 2014). Wulansari menjelaskan bahwa asas praduga tak bersalah berarti militer dianggap tidak bersalah selama belum mendapatkan keputusan hukuman disiplin militer yang berkekuatan hukum tetap. Pemeriksaan yang dilakukan seharusnya mengikuti ketentuan yang menyatakan bahwa pemeriksaan dilakukan secara langsung tanpa kekerasan
Kesaksian Prada Richard juga mengungkapkan fakta bahwa penyiksaan tersebut dilakukan untuk memaksanya berbohong mengakui sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Ia dicambuk lima hingga enam kali ketika menolak mengaku, dan terpaksa berbohong agar penyiksaan berhenti. Ini adalah bentuk pelanggaran serius terhadap integritas proses pemeriksaan. Menurut ketentuan yang berlaku, pemeriksaan harus bertujuan untuk memperoleh fakta kejadian yang sebenarnya sehingga dapat diambil keputusan secara tepat, objektif, dan adil. Pemaksaan pengakuan melalui penyiksaan justru menghasilkan keterangan palsu yang jauh dari fakta sebenarnya.
Tragisnya, ketika ayah almarhum Lucky bertanya tentang bukti yang mendukung tuduhan LGBT terhadap anaknya, Oditur Militer Letkol Chk Yusdiharto dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada bukti dan tuduhan tersebut hanyalah asumsi belaka. Pernyataan ini semakin menegaskan bahwa penyiksaan yang dialami oleh Prada Richard dan almarhum Lucky tidak memiliki dasar hukum yang kuat, melainkan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan atas praduga tanpa bukti.
Dalam konteks tindak pidana, perbuatan Letda Made Juni dapat dikategorikan sebagai penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP. Meskipun KUHPM tidak secara spesifik mengatur tentang penganiayaan, berdasarkan Pasal 1 KUHPM, ketentuan dalam KUHP tetap berlaku bagi militer. Helmi menegaskan bahwa hukum militer dari suatu negara merupakan sub sistem hukum dari negara tersebut, karena militer itu adalah bagian dari suatu masyarakat atau bangsa yang melakukan tugas khusus. Penganiayaan yang dilakukan dengan cara yang merendahkan martabat korban, apalagi dalam konteks penyalahgunaan wewenang sebagai atasan, seharusnya mendapat pemberatan pidana sesuai dengan ketentuan yang memungkinkan pemecatan dari dinas militer bagi prajurit yang dipandang tidak layak lagi berada dalam kalangan militer (Pasal 26 ayat 1 KUHPM).
Kasus ini juga mengingatkan kita pada pentingnya peran Badan Pembinaan Hukum TNI dalam memberikan penyuluhan hukum dan mencegah terjadinya pelanggaran. Kurniawan, Ridho, dan Rokhmat dalam penelitiannya menyatakan bahwa Badan Pembinaan Hukum TNI telah melakukan berbagai upaya yang terstruktur dan berfokus pada penegakan hukum, pendidikan hukum, serta pembinaan etika militer dalam rangka meningkatkan profesionalisme prajurit. Pembinaan hukum bagi prajurit bukan hanya tentang memberikan sanksi setelah pelanggaran terjadi, tetapi lebih kepada upaya preventif agar setiap prajurit memahami batasan-batasan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Penyiksaan yang terjadi menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan pemahaman tentang cara-cara pembinaan yang humanis dan sesuai dengan hukum.
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah mengapa penyiksaan semacam ini bisa terjadi dalam institusi yang seharusnya menjunjung tinggi disiplin dan keadilan. Apakah ini merupakan praktik yang terisolasi ataukah mencerminkan budaya kekerasan yang masih mengakar dalam sistem pembinaan militer. Sugistiyoko menjelaskan bahwa pola pendidikan militer yang selama ini diterapkan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya prajurit, agar setiap prajurit memiliki disiplin tinggi, jasmani yang kuat, serta tetap berjiwa Pancasila, Sapta Marga, dan Sumpah Prajurit. Namun, secara psikologis, doktrin dan pandangan bahwa TNI merupakan warga kelas satu dapat membuat anggota TNI menjadi arogan sehingga pada saat terjadi suatu tindakan yang tidak sesuai dengan kehendaknya dapat berujung pada penyalahgunaan wewenang.
Dalam konteks penegakan hukum, kasus ini seharusnya ditangani secara serius dan transparan. Proses peradilan militer yang tengah berlangsung harus mampu mengungkap seluruh fakta secara objektif tanpa ada upaya untuk menutupi atau meringankan kesalahan yang telah terjadi. Hakim dalam memutus perkara ini tidak hanya harus mempertimbangkan aspek kepastian hukum, tetapi juga aspek keadilan bagi korban dan keluarganya. Marzuki mengemukakan bahwa penelitian hukum yang bersifat preskriptif harus dapat memberikan rekomendasi atas hasil penelitian yang dilakukan, dengan mempertimbangkan tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.
Sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku juga harus mencerminkan keseriusan pelanggaran yang dilakukan. Mengacu pada tujuan pemidanaan dalam hukum militer yang lebih menekankan pada pembinaan, bukan berarti sanksi harus ringan. Ananta, Chandra, dan Marpaung menjelaskan bahwa sanksi pidana militer memiliki fungsi yang sama dengan sanksi pidana yang terdapat dalam KUHP, yaitu untuk memberikan hukuman atau nestapa terhadap anggota atau perwira militer yang melakukan tindak pidana. Namun, sanksi pidana militer juga menekankan pada pendidikan dan pembinaan bagi anggota atau perwira militer yang menerima hukuman tersebut, karena pada dasarnya penjatuhan sanksi pidana militer lebih merupakan suatu tindakan pendidikan atau pembinaan daripada balas dendam, selama terpidana akan diaktifkan kembali dalam dinas militer setelah selesai menjalani pidana. Pembinaan yang dimaksud adalah upaya untuk memberikan efek jera agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya dan memberikan peringatan kepada prajurit lain bahwa tindakan semacam ini tidak akan ditoleransi. Pemecatan dari dinas militer sebagaimana diatur dalam Pasal 26 KUHPM seharusnya menjadi pertimbangan serius, karena pelaku telah menunjukkan bahwa ia tidak layak lagi untuk dipertahankan dalam kalangan militer.
Lebih luas lagi, kasus ini harus menjadi momentum untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pembinaan dan penegakan disiplin di lingkungan TNI. Perlu ada mekanisme pengawasan yang lebih ketat untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh atasan terhadap bawahan. Dewan Pertimbangan dan Pengawasan Disiplin Militer yang bersifat ad hoc di lingkungan internal Tentara Nasional Indonesia bertugas memberikan pertimbangan, rekomendasi, dan pengawasan atas pelaksanaan penegakan Hukum Disiplin Militer. Lembaga ini seharusnya dapat berfungsi secara optimal dalam mengawasi pelaksanaan penegakan hukum disiplin dan memberikan rekomendasi perbaikan sistem. Selain itu, perlu ada penguatan pada aspek perlindungan bagi prajurit yang menjadi korban penyalahgunaan wewenang. Mekanisme pelaporan yang aman dan terlindungi harus tersedia agar prajurit yang mengalami perlakuan tidak adil dapat menyampaikan keluhannya tanpa takut akan pembalasan. Transparansi dalam proses pemeriksaan dan penyelesaian perkara juga menjadi kunci untuk membangun kepercayaan bahwa sistem hukum militer benar-benar menjunjung tinggi keadilan.
Kematian Prada Lucky Namo dan penderitaan yang dialami oleh Prada Richard Bulan seharusnya tidak sia-sia. Kasus ini harus menjadi pelajaran berharga bagi seluruh institusi TNI bahwa disiplin militer yang sejati adalah disiplin yang dibangun atas dasar kesadaran, bukan ketakutan akibat penyiksaan. Wulansari mendefinisikan Disiplin Militer sebagai kesadaran, kepatuhan, dan ketaatan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan, peraturan kedinasan, dan tata kehidupan yang berlaku bagi Militer. Pembinaan yang efektif adalah pembinaan yang menghormati martabat kemanusiaan, bukan yang merendahkannya. Hanya dengan cara inilah TNI dapat mempertahankan integritasnya sebagai institusi pertahanan negara yang profesional dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, Sapta Marga, dan Sumpah Prajurit.
Pada akhirnya, keadilan bagi Prada Lucky dan Prada Richard bukan hanya tentang menjatuhkan sanksi kepada pelaku, tetapi juga tentang memastikan bahwa tragedi serupa tidak akan pernah terulang lagi. Ini adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya bagi institusi TNI, tetapi juga bagi seluruh elemen masyarakat untuk terus mengawal proses penegakan hukum dan mendorong reformasi sistem pembinaan militer yang lebih humanis dan berkeadilan. Sebagaimana ditekankan dalam berbagai penelitian tentang hukum disiplin militer, tujuan utama dari penegakan hukum adalah untuk mewujudkan pembinaan organisasi, pembinaan personel, pembinaan dan peningkatan Disiplin Militer, serta penegakan Hukum Disiplin Militer dengan memperhatikan kemanfaatan dan keadilan (Pasal 4 UU No. 25 Tahun 2014).
DAFTAR PUSTAKA
Ananta, Dinur Wikra, Tofik Yanuar Chandra, dan Berlian Marpaung. 2024. "Penegakan Hukum terhadap Anggota TNI Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan yang Menyebabkan Kematian". ARMADA: Jurnal Penelitian Multidisiplin, Vol. 2, No. 3, hal. 195-204.
Detikbali. 2025. "Kesaksian Prada Richard Anus Diolesi Cabai-Dipaksa Mengaku Gay". Diakses dari https://www.detik.com/bali/hukum-dan-kriminal/d-8183467/kesaksian-prada-richard-anus-diolesi-cabai-dipaksa-mengaku-gay
Helmi, Muhammad Ishar. 2013. "Penerapan Azas 'Equality Before The Law' Dalam Sistem Peradilan Militer". Jurnal Cita Hukum, Vol. 1, No. 2, hal. 76755.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kurniawan, Jajang, M. Ali Ridho, dan Rokhmat. 2024. "Analisis Pembinaan Hukum Bagi Prajurit Melalui Pemberdayaan Badan Pembinaan Hukum TNI Dalam Rangka Meningkatkan Profesionalisme Prajurit". Syntax Idea, Vol. 6, No. 10.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM).
Marzuki, Peter Mahmud. 2017. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 243 K/MIL/2014.
Sugistiyoko, Bambang Slamet Eko. "Hukum Disiplin Prajurit Tentara Nasional Indonesia/Militer Pada Komando Distrik Militer 0807/Tulungagung".
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer.
Wulansari, Eka Martiana. "Hukum Disiplin Prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) Paska Reformasi". RechtsVinding Online.
Disclaimer : Kasus Penganiayaan yang menyebabkan kematian yang dialami oleh almarhum Lucky Namo masih berproses dalam Peradilan militer, sehingga opini ini hanya merupakan tanggapan terhadap penyataan para saksi yang dihadirkan dalam sidang perdana di Pengadilan Militer III-15 Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Diharapkan kebijaksanaan para pembaca dalam memahami opini ini merupakan sesuatu yang rapuh dan belum final sehingga masih dapat disangkal maupun diperdebatkan.
