PELARIAN
“Sudah
lebih dari seminggu, pasukan Ra Kuti tidak melonggarkan penjagaan di ibukota.
Kita tidak mungkin membiarkannya berlama-lama. Rakyat bisa saja tak percaya
lagi pada kekuasaan raja.” Bisik seorang prajurit kepada Gajah Mada.
Seusai
mendengarkan kegelisahaan hati prajuritnya, Gajah Mada kemudian memalingkan
wajahnya ke tenda raja yang dikelilingi oleh para penjaga disertai oleh keluar
masuknya pelayan tabib membawa ramuan untuk mengobati sakit raja Jayanegara
yang kian memburuk.
“Tidak
disangka inilah harga yang harus dibayar oleh kita kepada para Dharmaputra. Tak
layak bagiku untuk menghunuskan pedang kepada pada pendiri kerajaan ini. Suatu makar
pula jika aku tak berhadapan dengan
mereka.” Gajah Mada melanjutkan langkahnya menuju Dyah Gitarja yang sedang
berkumpul dengan para panglima untuk mengatur strategi merebut kembali ibukota
dari Ra Kuti.
Tenda
Siasat lebih dipenuhi oleh para panglima pria dan seorang gadis yang merupakan
adik tiri raja jayanegara, Dyah Gitarja. Seorang gadis yang dihormati oleh
Gajah Mada, bukan karena dia adalah putri kerajaan Majapahit, tetapi karena dia
merupakan sahabat pertama Gajah Mada ketika tiba di Majapahit dan saudara
seperjuangan di medan perang.
“Bagaimana
keadaan ibukota?” Tanya Dyah Gitarja kepada Gajah Mada yang baru saja memasuki
tenda siasat.
“
Tidak ada celah bagi pasukan untuk menyerang. telik sandi yang hamba kirimkan
hampir saja dibunuh saat berusaha keluar dari ibukota.” Gajah Mada menjawab
dengan menundukkan wajah.
“Lalu,
apakah kau dapat menjamin, tidak ada yang mengikutinya?” Tanya Panglima
Mahapati kepada gajah mada
“Tidak
ada.” Jawab gajah mada
“Jika
dia katakan tidak ada, berarti tidak ada.” Dyah Gitarja membela Gajah Mada
tanpa memalingkan tatapannya dari wajah Gajah mada.
“Paman
Ra Kuti bukanlah orang sembarang, dia bersama-sama dengan ayahku mengatur
siasat untuk membunuh pasukan Kublai Khan, pasti sesuatu yang mudah untuknya
jika berhadapan dengan kita.” Ucap Dyah Gitarja di hadapan para panglima
“Diam
pun tak membantu, Bergerak pun tak berhasil. Jalan satu-satunya hanyalah
berjudi dengan nasib.” Sambung Dyah Gitarja sambil menatap Adityawarman,
sepupunya.
Adityawarman
kemudian menatap peta istana majapahit, senyuman tipis mulai dia tunjukkan
kepada Dyah Gitarja.
“Yang mulia putri, keputusan anda sangat
berbahaya. Jika terjadi sesuatu pada yang mulia raja….” Gajah mada tak mampu
melanjutkan kalimatnya yang akan terkesan sebagai maker dan mulai mengerti
maksud Dyah Gitarja dan Adityawarman
“Jika
kita kirimkan seribu pasukan maka kita akan kalah siasat, jika kita kirimkan
keturunan Wisnu dan Indra maka kita akan memenangkan sebuah kesetiaan.” Adityawarman
berusaha meyakinkan Gajah Mada tentang rencana mereka.
Mahapati
dan semua panglima didalam tenda strategi pun memberikan anggukan tanda setuju
dengan rencana Dyah Gitarja dan Adityawarman. Gajah Mada yang kalah suara,
akhirnya merelakan sahabatnya mempertaruhkan nyawa menuju ibukota.
RA
KUTI
Suasana
istana sudah tidak secerah dulu, wajah-wajah para pelayan hanya memancarkan
ketakutan akan kematian yang bisa datang tiba-tiba jika ada lagi serangan dari
pasukan raja ke dalam istana. Sesekali mereka menengok ke kiri dan ke kanan
dengan penuh siaga.
“sebaiknya
aku kabur saja. Aku sudah tidak betah di istana. Kalaupun harus jadi rakyat
jelata aku tak peduli, asalkan aku tidak selalu was-was akan kematian.” Bisik
seorang pelayan bernama Menuk kepada salah seorang temannya
“Diamlah.
Jika kau kabur sekarang, itu lebih berbahaya. Mereka yang di luar akan
mencurigaimu sebagai telik sandi yang mulia Panglima. Kalaupun ditangkap di
istana maka kau pun disangka sebagai telik sandi yang mulia raja, bisa ditebas
kamu sama adipati Braja?” balas pelayan lainnya
Sambil
menghela nafasnya, Menuk hanya bisa menyesalkan keadaannya yang serba salah.
Di
ruangan lain, Ra Kuti hanya memandangi singgasana kerajaan Majapahit, tak
berani bagi dirinya untuk menyentuh apalagi duduk di singgasana bekas Raden
Wijaya. Tak disadarinya, air matanya mulai membasahi pipi, mengingat
perjuangannya bersama Raden Wijaya, Nambi, Lembu Sora dan kawan lainnya ketika
selamat dari pembantaian Jayakatwang dan mendirikan kerajaan Majapahit.
“Sekarang
dan selamanya, aku tak akan dianggap sebagai pahlawan. Aku memilih menjadi
pengkhianat untuk menepati janjiku pada tanah airku dulu, Singasari. Keturunan
Indra dan Wisnu yang berhak atas takhta itu.” Ra Kuti mulai memantapkan hatinya
melalui sumpahnya di depan takhta kerajaan majapahit.
Sembari
mengingat masa lalunya, Ra Kuti dihampiri oleh adipati Braja, pengikut setianya.
“Perjalanan
sejauh ini, apakah yang mulia panglima tidak memiliki hasrat pada takhta itu?”
Tanya adipati Braja
“Hasrat? Rambut seputih ini masih mengejar hasrat? Aku tak pernah ingin memilikinya. Braja, saat aku kecil, ibuku pernah memberikan aku dan kakakku sebuah kain, dibaginya menjadi dua, yang besar diberikan pada kakakku, yang kecil untukku. Aku membuang milikku dan merebut milik kakaku. Ibuku kemudian mengambil rotan dan menghajarku, katanya tidak patut seseorang menginginkan dan merampas barang orang lain meskipun itu saudara serahimnya. Aku menangis sejadi-jadinya, ketika malam luka-luka itu mulai terasa sakit lagi, ibuku masuk ke kamar kami dan menangis sambil menggendongku. Dia menyesal melakukannya tapi hanya itu cara yang bisa dia lakukan untuk menyelamatkanku dari sifat serakah.” Ra Kuti mulai akrab dengan cerita masa lalunya, seolah-olah putaran ingatan ini bermuara pada ajal yang mendekat.
Adipati
Braja, masih tak dapat memahami rencana Ra Kuti. Pemberontakan yang dilakukan
Ra Kuti seolah-olah tak memiliki tujuan yang jelas baginya. Tetapi tak dapat
dia pertanyakan lebih lanjut kegelisahannya kepada Ra Kuti.
“Jangan
bunuh yang mulia putri. Ini anakku dan aku, bunuh saja kami berdua.” Seorang
pria paruh baya memohon pada pengawal di depan istana
“Ya
bunuh saja kami, langkahi mayat kami! Jangan putri raja.” Teriak seorang nenek
yang kemudian diikuti oleh semua orang yang ada di dalam barisan rakyat.
Di
sisi lain Cakrawira bertanya pada salah seorang prajurit yang berjaga.
“Apa
yang terjadi?” Tanya Cakrawira
“Ampun
adipati, katanya yang mulia putri akan masuk ke istana. Tetapi kami tak dapat melihatnya
di dalam kerumunan warga.” Jawab seorang prajurit
“Jangan
lakukan tindakan penyerangan apa pun sampai aku kembali, tetap perkuat
keamanan.” Cakrawiira lekas masuk ke dalam istana untuk memberitahukan situasi
kepada Ra Kuti dan Braja
“apa
yang terjadi.” Tanya Adipati Braja
“Katanya
Yang Mulia Putri berada di ibukota dan hendak masuk ke dalam istana. Rakyat di
luar berusaha menjadi tameng hidup bagi Yang Mulia Putri.” Jawab adipati
Cakrawira
“Apa
kau melihat yang mulia putri?” Tanya Ra Kuti
“
Yang Mulia tidak terlihat di dalam kerumunan. Mungkin ini suatu trik?” Ungkap
Cakrawira
“Braja.
Pergi dan cari keberadaan yang mulia putri. Jangan sampai dia terluka.
Bagaimana pun dia tetap cucu Raja kertanegara.” Perintah Ra Kuti kepada Braja
Braja
dan Cakrawira kemudian berjalan ke luar menuju pintu gerbang istana. Keadaan
semakin memburuk karena rakyat mulai mendorong para prajurit dan membuat pintu
gerbang bergetar oleh dorongan rakyat. Tanpa ragu Braja mulai menebas satu per
satu rakyat yang dianggapnya terlalu banyak melakukan tindakan perlawanan.
Cakrawira sangat terkejut dengan tindakan Braja yang bisa saja membahayakan
nyawa yang mulia putri.
“Yang
Mulia putri! Dyah Gitarja! anda tidak perlu bersembunyi dibalik tubuh kurus
rakyat jelata. Yang mulia putri semakin hari semakin mirip dengan yang mulia
Raja.” Teriak Braja setelah menebas 6 orang yang berada di depannya
Rakyat
yang tadinya beringas, justru takut dengan kenekatan Adipati Braja, beberapa
mulai mundur karena takut ditebas. Di dalam kerumunan rakyat tersebut
Adityawarman mulai muncul dan tersenyum tipis.
“Dasar
tukang jagal. Mereka bukan kerbau yang bisa kau tebas seenaknya. Kau memang
tidak bisa menjadi orang istana.” Adityawarman meledek sifat temperamental
Braja
“Kalian
jauh lebih busuk, karena berlindung dibalik tubuh lemah rakyat jelata.” Balas
Braja sambil menatap tajam Adityawarman
“Awalnya
aku ingin bersikap lebih lembut padamu, tetapi ternyata mulutmu mulai menarik
tanganku untuk menutupinya.” Adityawarman mulai kesal dengan kata-kata Braja
Cakrawira
mulai merasakan sebuah kejanggalan karena kehadiran Adityawarman tidak disertai
dengan Putri Dyah Gitarja. Sambil memalingkan wajahnya ke seluruh penjuru mata
angin, Cakrawira mencari keberadaan Putri Dyah Gitarja.
“Di
mana yang mulia putri?” Tanya Cakrawira kepada adityawarman
“Siapa?
Oh iya, aku lupa tadi. seingatku sudah beberapa saat yang lalu dia masuk ke
sana. Apa kalian tidak melihatnya?” Jawab Adityawarman sambil menunjuk ke arah
balai raja.
“Bajingan
kau!” Braja kesal dan mau menebas Adityawarman tetapi dihalangi oleh Cakrawira
“Sudah,
cukup! Kita tidak perlu membunuh lagi.” Ucap Cakrawira sambil melihat tubuh
rakyat yang ditebas oleh Braja. Kedua kemudian masuk dan kembali menutup pintu
gerbang
Adityawarman
yang melihat tubuh rakyat tak bersalah pun meneteskan air mata, merasa iba akan
pengorbanan rakyat tersebut. Di dalam Balai Raja, Dyah Gitarja bertemu dengan
Ra Kuti yang memang sudah menunggu kedatangan sang putri.
“Paman
Ra Kuti.” Panggil Dyah Gitarja
“Yang
mulia Putri. Bagaimana keadaanmu?” Tanya Ra Kuti yang terlihat khawatir dengan
keadaan Dyah Gitarja.
“Terima
kasih atas perhatian paman. Aku datang ke sini bukan sebagai Putri Kerajaan
tetapi sebagai muridmu. Aku mohon agar kau segera menyerah dan takluk kepada
kekuasaan kakanda Jayanegara. Ini jalan terbaik untuk memperoleh pengampunan.
Akan kujaminkan hidup untuk keselamatanmu dan prajuritmu.” Dyah Gitarja memohon
kepada Ra Kuti
“Nyawa
anda jauh lebih berharga dibandingkan nyawaku dan beribu-ribu pasukanku.
Pulanglah, kembali ke desa Badander. Aku akan tetap di sini untuk menjaga
takhta untukmu. Datanglah kembali setelah Raja jayanegara mangkat. Istana akan
kosong saat kau datang sebagai penguasa majapahit.” Ra Kuti menolak tawaran Dyah
Gitarja
“Kau
tahu di mana kami bersembunyi, tapi mengapa kau tak menyerang?” Dyah Gitarja
heran dengan tindakan Ra Kuti.
“Jayanegara
memang berada di sana. Tetapi di situlah pula kau berada, yang mulia Gayatri
pun berada di sana.” Jawab Ra Kuti
“Jika
aku kembali lagi ke sini maka yang ada hanya pertarungan. Tidak ada lagi
perundingan. Aku sendiri yang akan memimpin pasukan.” Dyah Gitarja mengancam
“Kau
memang muridku. Loyalis. Kau setia pada Takhta Majapahit dan aku setia pada
sumpahku kepada Yang Mulia Sri Baginda Kertanegara.” Balas Ra Kuti sambil
tersenyum kepada Dyah Gitarja
Sesampainya
di Balai Raja, Braja dan Cakrawira tidak menemukan keberadaan Dyah Gitarja
selain Ra Kuti.
“Aku
sudah melihat masa depan penerus Singasari.” Ucap Ra Kuti yang terus memandangi
singgasana Majapahit.
Comments
Post a Comment