Skip to main content

RA KUTI : PENGKHIANAT LOYALIS (BAGIAN I)

 


PELARIAN

“Sudah lebih dari seminggu, pasukan Ra Kuti tidak melonggarkan penjagaan di ibukota. Kita tidak mungkin membiarkannya berlama-lama. Rakyat bisa saja tak percaya lagi pada kekuasaan raja.” Bisik seorang prajurit kepada Gajah Mada.

Seusai mendengarkan kegelisahaan hati prajuritnya, Gajah Mada kemudian memalingkan wajahnya ke tenda raja yang dikelilingi oleh para penjaga disertai oleh keluar masuknya pelayan tabib membawa ramuan untuk mengobati sakit raja Jayanegara yang kian memburuk.

“Tidak disangka inilah harga yang harus dibayar oleh kita kepada para Dharmaputra. Tak layak bagiku untuk menghunuskan pedang kepada pada pendiri kerajaan ini. Suatu makar pula  jika aku tak berhadapan dengan mereka.” Gajah Mada melanjutkan langkahnya menuju Dyah Gitarja yang sedang berkumpul dengan para panglima untuk mengatur strategi merebut kembali ibukota dari Ra Kuti.

Tenda Siasat lebih dipenuhi oleh para panglima pria dan seorang gadis yang merupakan adik tiri raja jayanegara, Dyah Gitarja. Seorang gadis yang dihormati oleh Gajah Mada, bukan karena dia adalah putri kerajaan Majapahit, tetapi karena dia merupakan sahabat pertama Gajah Mada ketika tiba di Majapahit dan saudara seperjuangan di medan perang.

“Bagaimana keadaan ibukota?” Tanya Dyah Gitarja kepada Gajah Mada yang baru saja memasuki tenda siasat.

“ Tidak ada celah bagi pasukan untuk menyerang. telik sandi yang hamba kirimkan hampir saja dibunuh saat berusaha keluar dari ibukota.” Gajah Mada menjawab dengan menundukkan wajah.

“Lalu, apakah kau dapat menjamin, tidak ada yang mengikutinya?” Tanya Panglima Mahapati kepada gajah mada

“Tidak ada.” Jawab gajah mada

“Jika dia katakan tidak ada, berarti tidak ada.” Dyah Gitarja membela Gajah Mada tanpa memalingkan tatapannya dari wajah Gajah mada.  

“Paman Ra Kuti bukanlah orang sembarang, dia bersama-sama dengan ayahku mengatur siasat untuk membunuh pasukan Kublai Khan, pasti sesuatu yang mudah untuknya jika berhadapan dengan kita.” Ucap Dyah Gitarja di hadapan para panglima

“Diam pun tak membantu, Bergerak pun tak berhasil. Jalan satu-satunya hanyalah berjudi dengan nasib.” Sambung Dyah Gitarja sambil menatap Adityawarman, sepupunya.

Adityawarman kemudian menatap peta istana majapahit, senyuman tipis mulai dia tunjukkan kepada Dyah Gitarja.

 “Yang mulia putri, keputusan anda sangat berbahaya. Jika terjadi sesuatu pada yang mulia raja….” Gajah mada tak mampu melanjutkan kalimatnya yang akan terkesan sebagai maker dan mulai mengerti maksud Dyah Gitarja dan Adityawarman

“Jika kita kirimkan seribu pasukan maka kita akan kalah siasat, jika kita kirimkan keturunan Wisnu dan Indra maka kita akan memenangkan sebuah kesetiaan.” Adityawarman berusaha meyakinkan Gajah Mada tentang rencana mereka.

Mahapati dan semua panglima didalam tenda strategi pun memberikan anggukan tanda setuju dengan rencana Dyah Gitarja dan Adityawarman. Gajah Mada yang kalah suara, akhirnya merelakan sahabatnya mempertaruhkan nyawa menuju ibukota.


 

RA KUTI

Suasana istana sudah tidak secerah dulu, wajah-wajah para pelayan hanya memancarkan ketakutan akan kematian yang bisa datang tiba-tiba jika ada lagi serangan dari pasukan raja ke dalam istana. Sesekali mereka menengok ke kiri dan ke kanan dengan penuh siaga.

“sebaiknya aku kabur saja. Aku sudah tidak betah di istana. Kalaupun harus jadi rakyat jelata aku tak peduli, asalkan aku tidak selalu was-was akan kematian.” Bisik seorang pelayan bernama Menuk kepada salah seorang temannya

“Diamlah. Jika kau kabur sekarang, itu lebih berbahaya. Mereka yang di luar akan mencurigaimu sebagai telik sandi yang mulia Panglima. Kalaupun ditangkap di istana maka kau pun disangka sebagai telik sandi yang mulia raja, bisa ditebas kamu sama adipati Braja?” balas pelayan lainnya

Sambil menghela nafasnya, Menuk hanya bisa menyesalkan keadaannya yang serba salah.

Di ruangan lain, Ra Kuti hanya memandangi singgasana kerajaan Majapahit, tak berani bagi dirinya untuk menyentuh apalagi duduk di singgasana bekas Raden Wijaya. Tak disadarinya, air matanya mulai membasahi pipi, mengingat perjuangannya bersama Raden Wijaya, Nambi, Lembu Sora dan kawan lainnya ketika selamat dari pembantaian Jayakatwang dan mendirikan kerajaan Majapahit.

“Sekarang dan selamanya, aku tak akan dianggap sebagai pahlawan. Aku memilih menjadi pengkhianat untuk menepati janjiku pada tanah airku dulu, Singasari. Keturunan Indra dan Wisnu yang berhak atas takhta itu.” Ra Kuti mulai memantapkan hatinya melalui sumpahnya di depan takhta kerajaan majapahit.

Sembari mengingat masa lalunya, Ra Kuti dihampiri oleh adipati Braja, pengikut setianya.

“Perjalanan sejauh ini, apakah yang mulia panglima tidak memiliki hasrat pada takhta itu?” Tanya adipati Braja

“Hasrat? Rambut seputih ini masih mengejar hasrat? Aku tak pernah ingin memilikinya. Braja, saat aku kecil, ibuku pernah memberikan aku dan kakakku sebuah kain, dibaginya menjadi dua, yang besar diberikan pada kakakku, yang kecil untukku. Aku membuang milikku dan merebut milik kakaku. Ibuku kemudian mengambil rotan dan menghajarku, katanya tidak patut seseorang menginginkan dan merampas barang orang lain meskipun itu saudara serahimnya. Aku menangis sejadi-jadinya, ketika malam luka-luka itu mulai terasa sakit lagi, ibuku masuk ke kamar kami dan menangis sambil menggendongku. Dia menyesal melakukannya tapi hanya itu cara yang bisa dia lakukan untuk menyelamatkanku dari sifat serakah.” Ra Kuti mulai akrab dengan cerita masa lalunya, seolah-olah putaran ingatan ini bermuara pada ajal yang mendekat.

Adipati Braja, masih tak dapat memahami rencana Ra Kuti. Pemberontakan yang dilakukan Ra Kuti seolah-olah tak memiliki tujuan yang jelas baginya. Tetapi tak dapat dia pertanyakan lebih lanjut kegelisahannya kepada Ra Kuti.

 Di luar gerbang istana, terjadi keributan besar karena rakyat tiba-tiba menjadikan diri mereka sebagai tameng hidup sang putri kerajaan majapahit.

“Jangan bunuh yang mulia putri. Ini anakku dan aku, bunuh saja kami berdua.” Seorang pria paruh baya memohon pada pengawal di depan istana

“Ya bunuh saja kami, langkahi mayat kami! Jangan putri raja.” Teriak seorang nenek yang kemudian diikuti oleh semua orang yang ada di dalam barisan rakyat.

Di sisi lain Cakrawira bertanya pada salah seorang prajurit yang berjaga.

“Apa yang terjadi?” Tanya Cakrawira

“Ampun adipati, katanya yang mulia putri akan masuk ke istana. Tetapi kami tak dapat melihatnya di dalam kerumunan warga.” Jawab seorang prajurit

“Jangan lakukan tindakan penyerangan apa pun sampai aku kembali, tetap perkuat keamanan.” Cakrawiira lekas masuk ke dalam istana untuk memberitahukan situasi kepada Ra Kuti dan Braja

“apa yang terjadi.” Tanya Adipati Braja

“Katanya Yang Mulia Putri berada di ibukota dan hendak masuk ke dalam istana. Rakyat di luar berusaha menjadi tameng hidup bagi Yang Mulia Putri.” Jawab adipati Cakrawira

“Apa kau melihat yang mulia putri?” Tanya Ra Kuti

“ Yang Mulia tidak terlihat di dalam kerumunan. Mungkin ini suatu trik?” Ungkap Cakrawira

“Braja. Pergi dan cari keberadaan yang mulia putri. Jangan sampai dia terluka. Bagaimana pun dia tetap cucu Raja kertanegara.” Perintah Ra Kuti kepada Braja

Braja dan Cakrawira kemudian berjalan ke luar menuju pintu gerbang istana. Keadaan semakin memburuk karena rakyat mulai mendorong para prajurit dan membuat pintu gerbang bergetar oleh dorongan rakyat. Tanpa ragu Braja mulai menebas satu per satu rakyat yang dianggapnya terlalu banyak melakukan tindakan perlawanan. Cakrawira sangat terkejut dengan tindakan Braja yang bisa saja membahayakan nyawa yang mulia putri.

“Yang Mulia putri! Dyah Gitarja! anda tidak perlu bersembunyi dibalik tubuh kurus rakyat jelata. Yang mulia putri semakin hari semakin mirip dengan yang mulia Raja.” Teriak Braja setelah menebas 6 orang yang berada di depannya

Rakyat yang tadinya beringas, justru takut dengan kenekatan Adipati Braja, beberapa mulai mundur karena takut ditebas. Di dalam kerumunan rakyat tersebut Adityawarman mulai muncul dan tersenyum tipis.

“Dasar tukang jagal. Mereka bukan kerbau yang bisa kau tebas seenaknya. Kau memang tidak bisa menjadi orang istana.” Adityawarman meledek sifat temperamental Braja

“Kalian jauh lebih busuk, karena berlindung dibalik tubuh lemah rakyat jelata.” Balas Braja sambil menatap tajam Adityawarman

“Awalnya aku ingin bersikap lebih lembut padamu, tetapi ternyata mulutmu mulai menarik tanganku untuk menutupinya.” Adityawarman mulai kesal dengan kata-kata Braja

Cakrawira mulai merasakan sebuah kejanggalan karena kehadiran Adityawarman tidak disertai dengan Putri Dyah Gitarja. Sambil memalingkan wajahnya ke seluruh penjuru mata angin, Cakrawira mencari keberadaan Putri Dyah Gitarja.

“Di mana yang mulia putri?” Tanya Cakrawira kepada adityawarman

“Siapa? Oh iya, aku lupa tadi. seingatku sudah beberapa saat yang lalu dia masuk ke sana. Apa kalian tidak melihatnya?” Jawab Adityawarman sambil menunjuk ke arah balai raja.

“Bajingan kau!” Braja kesal dan mau menebas Adityawarman tetapi dihalangi oleh Cakrawira

“Sudah, cukup! Kita tidak perlu membunuh lagi.” Ucap Cakrawira sambil melihat tubuh rakyat yang ditebas oleh Braja. Kedua kemudian masuk dan kembali menutup pintu gerbang

Adityawarman yang melihat tubuh rakyat tak bersalah pun meneteskan air mata, merasa iba akan pengorbanan rakyat tersebut. Di dalam Balai Raja, Dyah Gitarja bertemu dengan Ra Kuti yang memang sudah menunggu kedatangan sang putri.

“Paman Ra Kuti.” Panggil Dyah Gitarja

“Yang mulia Putri. Bagaimana keadaanmu?” Tanya Ra Kuti yang terlihat khawatir dengan keadaan Dyah Gitarja.

“Terima kasih atas perhatian paman. Aku datang ke sini bukan sebagai Putri Kerajaan tetapi sebagai muridmu. Aku mohon agar kau segera menyerah dan takluk kepada kekuasaan kakanda Jayanegara. Ini jalan terbaik untuk memperoleh pengampunan. Akan kujaminkan hidup untuk keselamatanmu dan prajuritmu.” Dyah Gitarja memohon kepada Ra Kuti

“Nyawa anda jauh lebih berharga dibandingkan nyawaku dan beribu-ribu pasukanku. Pulanglah, kembali ke desa Badander. Aku akan tetap di sini untuk menjaga takhta untukmu. Datanglah kembali setelah Raja jayanegara mangkat. Istana akan kosong saat kau datang sebagai penguasa majapahit.” Ra Kuti menolak tawaran Dyah Gitarja

“Kau tahu di mana kami bersembunyi, tapi mengapa kau tak menyerang?” Dyah Gitarja heran dengan tindakan Ra Kuti.

“Jayanegara memang berada di sana. Tetapi di situlah pula kau berada, yang mulia Gayatri pun berada di sana.” Jawab Ra Kuti

“Jika aku kembali lagi ke sini maka yang ada hanya pertarungan. Tidak ada lagi perundingan. Aku sendiri yang akan memimpin pasukan.” Dyah Gitarja mengancam

“Kau memang muridku. Loyalis. Kau setia pada Takhta Majapahit dan aku setia pada sumpahku kepada Yang Mulia Sri Baginda Kertanegara.” Balas Ra Kuti sambil tersenyum kepada Dyah Gitarja

Sesampainya di Balai Raja, Braja dan Cakrawira tidak menemukan keberadaan Dyah Gitarja selain Ra Kuti.

“Aku sudah melihat masa depan penerus Singasari.” Ucap Ra Kuti yang terus memandangi singgasana Majapahit.

 

 

      

 

 

 


Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian