Monday, April 22, 2024

Opini Kawula Pasif Tentang Kristen Progresif


 

    Hari-hari ini saya banyak membaca beberapa postingan dan menonton konten-konten tentang Kristen Progresif yang melihat kebenaran iman kepada Kristus seperti suatu keadaan yang bersifat “liquid”. Melihat kebenaran iman dari pengalaman pribadi, terjemahan sendiri tanpa mendasarkan pada Alkitab sebagai sumber utama. Menginterpretasikan kematian dan kebangkitan Kristus sebagai simbol bukan mengimani peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang nyata. Secara eksplisit memisahkan Allah dan Kristus dalam sebuah gambaran bahwa Kematian Kristus seperti sebuah simbol tindakan Orang tua yang mendera anaknya sendiri, mengutip discipleship.com bagi Kristen progresif, apa yang terjadi dalam Peristiwa Jumat Agung adalah bentuk “pelecehan anak secara kosmik”


    Layaknya seorang kawula Kristen yang pasif, saya melihat gerakan ini mungkin lebih akrab bagi karakteristik anak muda masa kini dimana mengedepankan kebebasan ekspresi pribadi ketimbang memusatkan diri pada pemahaman yang konservatif. Hanya saja bagaimana bisa gerakan ini dapat dikatakan sebagai Kristen apabila keselamatan itu bisa didapatkan diluar Kristus, sedangkan nama Kristen sendiri memiliki arti pengikut Kristus, mereka yang dikatakan pengikut Kristus mula-mula adalah mereka yang menyaksikan dan mendengarkan kesaksian bahwa peristiwa penyaliban dan kebangkitan Kristus adalah fakta, dan bukan sebuah bentuk simbol apalagi representasi. 


    Adapula pandangan mereka bahwa beribadah tidak harus di gereja, tetapi secara sosial gereja menguatkan komunitas Kristen dalam lingkungan terkecil. Sebagai contoh, kita dapat melihat perjalanan pelayanan Yesus selama di dunia yakni meski membawa pembaharuan dalam pandangan konservatif Yahudi pada masa itu, Yesus tak pernah menjauhkan diri dalam pertemuan-pertemuan ibadah di Bait Allah. Dia memberikan teladan tentang bagaimana seorang yang beriman kepada Allah harus hidup tanpa harus memisahkan diri dari komunitas. Meski, harus diakui perkembangan zaman saat ini menciptakan rasa keterasingan antara anggota jemaat yang satu dengan lainnya di dalam peribadatan, tetapi pada dasarnya ini bukan menjadi alasan untuk memisahkan diri dari komunitas, kecuali kita memang ditolak. Mengapa ada pengecualian, karena Yesus sendiri memberikan teladan kepada kita yakni ketika pandangan-Nya ditolak oleh orang-orang Farisi, Dia tidak “alergi” dengan Bait Allah. Alih-alih membuat keributan, Yesus pergi ke Bait lainnya untuk mengajar. 


    Perihal interpretasi subjektif yang berdasarkan pengalaman, saya juga merasa keberatan sebab Alkitab merupakan satu-satunya sumber Pengajaran utama Kristen mengingat zaman kita terlampau jauh dari zaman Para Rasul atau 3 generasi murid-murid para Rasul, sesuatu yang cukup berbahaya jika menjadikan pengalaman pribadi sebagai dasar iman dan sumber pengajaran. Sekali lagi saya mengambil contoh dari keteladan Kristus, ketika masa pelayanan-Nya, Yesus tak pernah sekalipun mengoreksi isi Kitab-Kitab Taurat sebelumnya, melainkan mengkritisi tentang kesalahan penafsiran para Rabi di kala itu, serta kebiasaan mengedepankan adat-istiadat dibanding memahami isi kitab Taurat. Inilah yang menjadi alasan mengapa orang Kristen saat ini masih mempertahankan Kitab Perjanjian Lama, sebagai sumber utama dalam pengajaran iman. 


    Sesuatu yang seharusnya menjadi perhatian bagi Kristen Progresif bahwa apabila iman didasarkan pada pengalaman dan penafsiran pribadi semata tanpa mendasarkannya pada Alkitab sebagai sumber utama, apakah tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat ajaran Kristen akan melenceng dari relnya. Kristen menjadi kompromi pada dosa yang sebenarnya bertentangan dengan Kasih? Misalnya Kristen Progresif yakin bahwa Homoseksual tidak dapat dihakimi sebagai dosa karena Tuhan Yesus sendiri tidak menghukum seorang perempuan yang berzinah, seperti isi Injil Yohanes 8 :1-11, yang sebenarnya jika dibaca secara menyeluruh bukan merupakan bentuk kompromi terhadap dosa. Yesus tetap melihat perzinahan sebagai dosa tetapi memilih untuk menyelesaikannya dengan cara menunjukan pengampunan dan memberikan kesempatan hidup baru. Seperti pada kutipan ayat ke 11 :

Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”


    Pada akhirnya, sebagai seorang yang pasif dalam progresivitas, saya berpikir bahwa gerakan ini mungkin berusaha untuk berkompromi pada dunia agar mudah diterima. Benar anak muda menyukai perubahan dan kemajuan, tetapi apakah gerakan Kristen Progresif masih dapat dikatakan Kristen apabila dia mulai beranjak meninggalkan inti keimanan Kristen itu sendiri?


Referensi yang membantu tulisan ini :

Alkitab SABDA. (2005). Yoh 8:1-11 (TB) - Tampilan Daftar Ayat. Alkitab SABDA. Retrieved April 22, 2024, from https://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=yoh%208:1-11&tab=text


Cole, D. S. (2024, March 11). Neither Do I Condemn You | Dorian Cole. Patheos. Retrieved April 22, 2024, from https://www.patheos.com/blogs/newgenerationsexplorefaith/2024/03/neither-do-i-condemn-you/


Discipleship Patner. (2021). 5 Signs Your Church Might be Heading Toward Progressive Christianity. Discipleship.org. Retrieved April 22, 2024, from https://discipleship.org/blog/5-signs-your-church-might-be-heading-toward-progressive-christianity/


Pavlovitz, J. (2017, 8 5). Alisa Childers I Blog. Alisa Childers I Blog. Retrieved April 22, 2024, from https://www.alisachildersblog.com/blog/5-signs-your-church-might-be-heading-toward-progressive-christianity


Shlemon, A., & Childers, A. (2017, 8 8). How to Recognize Progressive Christianity Through Theology. Impact 360 Institute. Retrieved April 22, 2024, from https://www.impact360institute.org/articles/how-to-recognize-progressive-christianity-through-theology/


Saturday, April 20, 2024

Papua : Love Me or Leave Me


  
    

Kemarin dalam sebuah kegiatan belajar-mengajar yang saya ikuti, kami membahas tentang kondisi pembangunan di Indonesia Timur, khususnya Papua. Banyak hal yang saya dapatkan diantaranya tentang sistem pendidikan yang sampai saat ini belum menemukan cara yang tepat untuk memahami sosio-kultural Papua. Saya setuju akan pendidikan yang menyesuaikan dengan sosio-kultural setempat mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman etnis dan budaya maka pendidikan harus menjadi pengantar yang baik dan mudah dipahami oleh mereka yang hendak belajar, tetapi ada yang kurang dalam alam pikiran saya tentang kondisi Papua atau lebih luasnya Indonesia Timur. Di zaman Hindia Belanda, banyak sekali pelajar dari Indonesia Timur yang berkembang dan memiliki prestasi bahkan menjadi penggagas pertama dalam sejarah, setelah kemerdekaan, tak ada lagi prestasi tersebut bahkan Indonesia Timur sering dicap sebagai daerah yang tertinggal secara pendidikan. Kembali lagi muncul pertanyaan, apakah pemerintah Hindia-Belanda lebih mengenal kultur masyarakat Indonesia Timur ketimbang pemerintah Indonesia sendiri? Apakah ini pula yang menjadi alasan dari sikap awal Mohammad Hatta ketika Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia?


    Dibandingkan Celebes dan Sunda Kecil, Mohammad Hatta lebih mengkhawatirkan Papua, kekuatiran ini bisa saja timbul dari pengalaman beliau ketika diasingkan ke Boven Digoel. Bahkan saat Konferensi Meja Bundar di Belanda, Hatta tidak begitu membahas masalah Papua secara intens dengan perwakilan Belanda, meski Soekarno telah menekankan pada perwakilan Indonesia sebelum menghadiri Konferensi Meja Bundar bahwa Papua harus menjadi prioritas berikutnya setelah pengakuan kedaulatan Indonesia. Menurut beberapa catatan alasan Hatta adalah perbedaan budaya yang begitu besar antara Papua dengan sebagian wilayah Indonesia lainnya. Sebagai contohnya adalah perbedaan etnis di mana Indonesia sebagian besar dari bangsa Melayu sedangkan Papua adalah bangsa Melanesia. Hanya saja alasan ini masih janggal bagi saya, jika alasannya adalah melanesia, maka seharusnya NTT dan Maluku pun termasuk di dalamnya. Sampai saat ini bagi saya jawaban dari keraguan Mohammad Hatta terhadap Papua masih belum tersedia, meski katanya sudah terjawab dengan Pepera 1969, yang mana 4 tahun kemudian Freeport mulai menambang di Papua. 


    Dalam artikel jurnal Muhamad Febrian yang berjudul “Penyebab Aksi Separatisme OPM Masih Ada Hingga Saat Ini” dijelaskan bahwa pendidikan adalah salah satu cara pemerintah Belanda di tahun 1950an melakukan kaderisasi pemimpin-pemimpin awal gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka. Sedangkan cara pemerintah Indonesia di tahun 1966 untuk menangani OPM adalah melalui jalan militer. Bagi saya, sesuatu yang kontradiksi dengan gaya Militer Indonesia saat melawan ideologi komunis di tahun 1950an - 1965, di mana militer lebih rapi membentuk biro khusus yang berisi orang-orang dari kalangan intelektual agar mampu menandingi para kader-kader PKI dan seharusnya dalam menyaingi Belanda kala itu pemerintah Indonesia juga turut melakukan kaderisasi tandingan.
Kaderisasi tandingan ini memang baru dilakukan 3 dasawarsa setelah Pepera 1969, meski terkesan terlambat tetapi setidaknya masih memberikan sedikit harapan bagi masa depan Papua sebagai bagian dari NKRI. Saat ini pemerintah sedang membereskan “Pekerjaan Rumah” yang banyak terabaikan di Papua sejak tahun 1969. Pekerjaan ini bukan bentuk kebaikan hati Pemerintah Indonesia, tetapi wujud terima kasih karena Papua telah banyak berkorban bagi pembangunan negara. Suka atau tidak itu adalah faktanya, bahwa emas di Papua telah menyokong Indonesia selama bertahun-tahun meski bertahun-tahun pula pembangunan di Papua terabaikan. 


    Pendidikan adalah dasar utama untuk mencintai Papua lebih dalam lagi, untuk membuktikan rasa cinta Indonesia pada Papua meski terdapat perbedaan kultural. Sebagian dari kita mungkin pernah melihat beberapa footage video tentang orang Indonesia yang memilih pergi ke Belanda ketika pemerintahan Hindia Belanda berakhir, apakah mereka memilih Belanda karena kesamaan etnis atau suku bangsa? Tentu tidak, mereka memilih Belanda karena merasa dicintai, maka seharusnya pemerintah Indonesia pun belajar untuk menumbuhkan rasa cinta orang Papua terhadap Indonesia.


Ketika Kekayaan Alam Menjadi Kutukan bagi Pendidikan

Pernahkah kamu memperhatikan fenomena yang tampak paradoksal yang mana daerah-daerah kaya akan sumber daya alam justru cenderung memiliki ti...